Kontroversi Rangkap Jabatan Wakil Menteri di BUMN: Istana Berkilah Tak Ada Pelanggaran Konstitusi

Polemik mengenai rangkap jabatan wakil menteri di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuat, memicu perdebatan sengit di kalangan ahli hukum dan masyarakat. Istana Kepresidenan, melalui Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, menegaskan bahwa praktik ini tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Hasan Nasbi, Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 tidak secara eksplisit melarang wakil menteri untuk menduduki posisi komisaris di BUMN. Ia menjelaskan bahwa meskipun terdapat pertimbangan yang menyinggung isu tersebut, tidak ada pasal dalam putusan yang secara tegas melarang rangkap jabatan tersebut.

"Di putusan MK Nomor 80 Tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear. Di pertimbangan ada kata-kata yang seperti itu, tapi dalam putusan tidak ada," ujar Hasan Nasbi di Jakarta.

Pernyataan ini muncul di tengah sorotan publik terhadap sejumlah wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Maju yang juga menjabat sebagai komisaris di BUMN.

Berikut adalah daftar beberapa wakil menteri yang diketahui merangkap jabatan:

  • Kartika Wirjoatmoko: Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (BRI)
  • Aminuddin Ma'ruf: Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
  • Dony Oskaria: Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero)
  • Suahasil Nazara: Wakil Komisaris PLN
  • Silmy Karim: Komisaris PT Telkom Indonesia
  • Sudaryono: Ketua Dewan Pengawas Perum Bulog

Mantan Ketua MK, Mahfud MD, memiliki pandangan yang berbeda. Ia berpendapat bahwa Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 sebenarnya mengandung larangan implisit terhadap rangkap jabatan wakil menteri di BUMN. Menurut Mahfud, larangan yang melekat pada menteri seharusnya juga berlaku bagi wakil menteri.

"Menurut MK (larangan Wamen) ini enggak perlu diputuskan dalam sebuah amar karena bagi MK larangan yang melekat pada menteri melekat juga pada wakil menteri," kata Mahfud.

Mahfud menambahkan bahwa banyaknya wakil menteri yang merangkap jabatan di pemerintahan saat ini menjadi alasan kuat untuk meninjau kembali aturan ini.

Kontroversi ini menyoroti celah hukum dan interpretasi yang berbeda terhadap Putusan MK. Sementara Istana berpendapat bahwa tidak ada pelanggaran hukum, sejumlah ahli hukum dan tokoh publik berpendapat sebaliknya. Perdebatan ini kemungkinan akan terus berlanjut, dengan potensi gugatan hukum yang mungkin diajukan untuk menguji legalitas praktik rangkap jabatan ini.