Menteri ESDM Akan Mengkaji Ulang Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Pasca Sorotan Kerusakan Lingkungan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, berencana untuk memanggil para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kekhawatiran serius mengenai dampak aktivitas pertambangan terhadap kelestarian ekosistem pariwisata Raja Ampat yang terkenal akan keindahan alamnya.
Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pertemuan dengan para pemilik IUP, baik dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun sektor swasta, bertujuan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik pertambangan yang sedang berjalan. Pemerintah akan meninjau secara seksama bagaimana kegiatan pertambangan tersebut memengaruhi lingkungan hidup, khususnya mengingat status Raja Ampat sebagai daerah otonomi khusus dengan kearifan lokal yang perlu dihormati.
"Nanti saya akan evaluasi. Saya ada rapat dengan dirjen saya, saya akan panggil pemilik IUP, mau BUMN atau swasta," ujar Bahlil di Jakarta International Convention Center (JICC).
Selain itu, aspirasi masyarakat setempat terkait pembangunan smelter di Papua, khususnya di Raja Ampat, juga akan menjadi bagian dari agenda evaluasi. Bahlil menekankan pentingnya mempertimbangkan otonomi khusus yang dimiliki Papua, yang menuntut perlakuan khusus dalam pengelolaan sumber daya alam.
Fokus utama evaluasi ini adalah memastikan bahwa seluruh kegiatan pertambangan mematuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah ditetapkan. Pemerintah berkomitmen untuk menerapkan kaidah-kaidah AMDAL secara ketat guna meminimalkan potensi kerusakan lingkungan.
Langkah ini diambil setelah adanya laporan dari organisasi non-pemerintah (Ornop) seperti Greenpeace Indonesia yang menyoroti kerusakan lingkungan yang signifikan di kawasan wisata Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel.
Greenpeace menyoroti bahwa kegiatan penambangan telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, karena dilakukan di pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi.
Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel telah menyebabkan pembabatan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami. Dokumentasi yang ada juga menunjukkan adanya limpasan tanah yang mengakibatkan sedimentasi di pesisir, yang berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem perairan Raja Ampat.
Pulau-pulau yang terdampak meliputi Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Selain itu, pulau-pulau kecil lainnya seperti Pulau Batang Pele dan Manyaifun juga terancam oleh aktivitas pertambangan nikel.
Greenpeace mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan industrialisasi nikel yang dinilai telah menimbulkan banyak masalah. Mereka mengingatkan bahwa perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratan Raja Ampat juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung, serta telah diakui oleh UNESCO sebagai global geopark.
Evaluasi yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM diharapkan dapat memberikan solusi yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan kearifan lokal di Raja Ampat.