Hambatan Struktural dan Budaya dalam Penanggulangan KDRT di Jawa Tengah

Hambatan Struktural dan Budaya dalam Penanggulangan KDRT di Jawa Tengah

Sepanjang tahun 2024, Lembaga Bantuan Hukum Apik Semarang (LBH Apik Semarang) mencatat angka yang mengkhawatirkan: 102 perempuan di Jawa Tengah melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami. Dari jumlah tersebut, 42 kasus merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Angka ini menjadi indikator kuat akan masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah tersebut dan kompleksitas permasalahan yang mendasarinya. Direktur LBH Apik Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, mengungkapkan sejumlah tantangan signifikan yang menghambat akses korban terhadap keadilan.

Salah satu kendala utama adalah relasi kuasa dan ekonomi dalam rumah tangga yang membuat korban enggan melaporkan kasus yang dialaminya. Kurangnya dukungan keluarga juga menjadi faktor penghambat yang signifikan. Perempuan korban KDRT dan kekerasan seksual seringkali terisolasi dan merasa tidak memiliki tempat untuk mencari perlindungan dan bantuan hukum. Stigma sosial yang kuat turut berperan dalam memperparah situasi. Perceraian masih dianggap sebagai aib, dan bagi sebagian korban, doktrin agama yang salah tafsir—menganggap kekerasan sebagai bentuk ibadah atau penebusan dosa—menghalangi mereka untuk mencari jalan keluar dari kekerasan yang mereka alami. Hal ini diperparah oleh budaya patriarki yang mendalam dalam masyarakat.

Lebih lanjut, Ayu Hermawati menuturkan sebuah kasus yang menggambarkan betapa sulitnya korban melepaskan diri dari jeratan KDRT. Seorang korban bertahan selama 10 tahun dalam hubungan yang penuh kekerasan sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerai setelah menjalani proses advokasi jangka panjang. Pengalaman ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh budaya patriarki dan interpretasi agama yang keliru dalam melanggengkan siklus kekerasan. Beliau juga menjelaskan kasus lain, dimana seorang korban baru berani bercerai setelah 12 tahun menderita kekerasan fisik dari suaminya dan merasa nyawanya terancam. Kasus ini menekankan pentingnya perlindungan bagi korban dan perlunya intervensi dini untuk mencegah kekerasan berujung pada ancaman jiwa.

Tantangan serupa juga dihadapi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus-kasus ini seringkali disembunyikan karena stigma aib yang melekat, dan pelaku seringkali berasal dari lingkungan terdekat korban, seperti anggota keluarga atau tetangga. Akibatnya, banyak kasus yang diselesaikan melalui mediasi informal, bahkan dengan cara menikahkan pelaku dengan korban, sebuah solusi yang tidak hanya gagal melindungi korban tetapi juga memperkuat budaya impunitas. Kondisi ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan minimnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak korban.

Sebagai respons, LBH Apik Semarang melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satunya adalah dengan menggandeng tokoh agama di tingkat desa untuk memperkuat upaya komunitas dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Upaya advokasi juga dilakukan secara gencar kepada kelompok rentan, agar mereka memahami hak-hak mereka dan berani melapor ketika mengalami kekerasan. Meskipun tidak semua tokoh agama mau terlibat, beberapa tokoh agama, khususnya perempuan, telah bersedia membantu dalam upaya ini. Setelah korban berhasil keluar dari situasi KDRT, LBH Apik juga berkolaborasi dengan LSM Puspita Bahari untuk memberdayakan mereka secara ekonomi melalui pelatihan pengolahan produk pangan dan pemasaran di toko oleh-oleh, demi mendukung kemandirian ekonomi mereka.

Kesimpulannya, penanggulangan KDRT di Jawa Tengah menghadapi tantangan multi-dimensi yang memerlukan pendekatan holistik dan terintegrasi. Upaya pemberdayaan korban, perubahan mindset masyarakat, penegakan hukum yang tegas, serta keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh agama dan pemerintah, menjadi kunci dalam memutus siklus kekerasan dan menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak.