Dugaan Pemberangusan Serikat Pekerja Picu PHK Massal, Kementerian Ketenagakerjaan Turun Tangan

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa 24 karyawan di sebuah perusahaan distributor cokelat di Kota Bekasi, Jawa Barat, memicu dugaan praktik union busting atau pemberangusan serikat pekerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merespons isu ini dengan serius dan berjanji akan melakukan investigasi mendalam.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer, menyampaikan keprihatinannya atas laporan PHK sepihak tersebut. Ia menegaskan bahwa apabila terbukti adanya unsur union busting, tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak pekerja dan undang-undang yang berlaku.

"Kami akan bantu para pekerja yang menjadi korban. Apalagi jika informasi mengenai pemecatan sepihak ini benar adanya," ujar Immanuel Ebenezer, yang akrab disapa Noel. Ia menambahkan bahwa Kemnaker akan memantau dan mengawal kasus ini hingga tuntas, memastikan keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat.

Kronologi PHK ini bermula pada tanggal 14 April lalu, ketika 24 karyawan dipanggil secara mendadak oleh pihak Human Resources Department (HRD) dan atasan mereka. Tanpa peringatan atau sosialisasi sebelumnya, mereka langsung menerima surat PHK yang menyatakan bahwa masa kerja mereka berakhir pada tanggal 15 April 2025, atau keesokan harinya. Surat PHK tersebut ditolak oleh para karyawan dan tidak ditandatangani sebagai bentuk penolakan terhadap PHK sepihak.

Fakta yang memberatkan dugaan union busting adalah bahwa 23 dari 24 karyawan yang di-PHK merupakan pengurus dan anggota aktif serikat pekerja di perusahaan tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa PHK tersebut merupakan upaya sistematis untuk melemahkan atau membubarkan serikat pekerja yang dianggap menghalangi kepentingan perusahaan.

Setelah menerima surat PHK, perwakilan serikat pekerja berinisiatif untuk melakukan dialog informal dengan pihak manajemen perusahaan. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Pihak manajemen bersikeras bahwa keputusan PHK bersifat final dan tidak dapat dinegosiasikan kembali.

Sejak tanggal 28 Mei 2025, para pekerja yang terkena PHK sepihak dinonaktifkan dari sistem absensi perusahaan. Akibatnya, mereka tidak lagi menerima upah bulanan dan kompensasi yang seharusnya mereka terima sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Situasi ini semakin memperburuk kondisi para pekerja yang kehilangan mata pencaharian secara tiba-tiba.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan memicu keprihatinan dari berbagai pihak, termasuk organisasi buruh dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang ketenagakerjaan. Mereka mendesak Kemnaker untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang diduga melakukan union busting dan memberikan perlindungan serta keadilan bagi para pekerja yang menjadi korban.

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam kasus ini:

  • Dugaan Union Busting: PHK terhadap 23 anggota serikat pekerja menimbulkan kecurigaan adanya upaya pemberangusan serikat.
  • PHK Sepihak: Karyawan di-PHK tanpa peringatan atau sosialisasi sebelumnya.
  • Penolakan Surat PHK: Karyawan menolak menandatangani surat PHK sebagai bentuk protes.
  • Tidak Ada Kompensasi: Karyawan tidak menerima upah atau kompensasi setelah PHK.
  • Intervensi Kemnaker: Wamenaker berjanji akan membantu dan mengawal kasus ini.

Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menegakkan hukum dan melindungi hak-hak pekerja. Diharapkan, Kemnaker dapat bertindak cepat dan tegas untuk menyelesaikan masalah ini secara adil dan transparan, serta memberikan efek jera bagi perusahaan lain yang mencoba melakukan praktik union busting.