Pemerintah Kaji Implementasi Putusan MK tentang Pendidikan Dasar Gratis: Sekolah Swasta Premium Berpotensi Dikecualikan

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang mewajibkan negara untuk menjamin pendidikan dasar gratis, mencakup jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, implementasi putusan ini memunculkan berbagai pertanyaan, terutama terkait peran dan keberadaan sekolah swasta. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa putusan MK tidak serta merta menghapuskan pungutan biaya di seluruh sekolah, khususnya sekolah swasta.

Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa sekolah swasta tetap diperbolehkan untuk memungut biaya pendidikan, namun dengan syarat dan ketentuan yang jelas. Pemerintah saat ini sedang menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto untuk menentukan langkah-langkah strategis dalam menjalankan putusan MK. Koordinasi lintas kementerian, khususnya dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menjadi krusial mengingat implikasi anggaran yang signifikan. Perubahan anggaran tengah tahun kemungkinan besar diperlukan, sehingga pembahasan dengan Kemenkeu dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi agenda penting.

Mu’ti menekankan pentingnya kajian mendalam terhadap substansi putusan MK, serta dampaknya terhadap sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Pemerintah berupaya menyusun skema yang tepat untuk melaksanakan putusan MK dengan tetap memperhatikan kualitas dan keberlangsungan pendidikan.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifuddin, memberikan pandangan bahwa sekolah swasta yang menawarkan layanan premium sebaiknya dikecualikan dari kewajiban negara untuk menanggung biaya pendidikan dasar. Menurutnya, tidak semua sekolah swasta memiliki kondisi yang sama. Beberapa sekolah swasta hadir untuk mengisi kekosongan layanan pendidikan di wilayah yang tidak terjangkau oleh sekolah negeri, sementara yang lain menawarkan layanan dan fasilitas berstandar tinggi.

Hetifah menyoroti fenomena orang tua yang secara sadar memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta premium, bukan karena kekurangan pilihan di sekolah negeri, melainkan karena menginginkan kualitas layanan yang berbeda. Ia berpendapat bahwa tidaklah adil jika orang tua yang dengan sukarela memilih sekolah swasta premium mengharapkan seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh negara.

Oleh karena itu, Hetifah mengusulkan implementasi putusan MK dilakukan secara bertahap. Prioritas awal diberikan kepada sekolah swasta yang berbiaya rendah, terutama di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Ia mencontohkan sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan yayasan pendidikan Kristen di Papua yang sangat membutuhkan sokongan pendanaan.

Implementasi bertahap ini memungkinkan pemerintah untuk melakukan evaluasi berkala dan memastikan efektivitas kebijakan sebelum diperluas ke sekolah-sekolah lain. Putusan MK sendiri mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya terkait frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya". MK berpendapat bahwa putusan ini selaras dengan standar hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional.

Dengan demikian, negara memiliki kewajiban untuk menggratiskan pendidikan jenjang SD-SMP, sejalan dengan prinsip universalitas dan non-diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam berbagai konvensi internasional, termasuk Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948.