Gelombang PHK di Bekasi: Puluhan Buruh Pabrik Cokelat Terancam Kehilangan Mata Pencaharian Tanpa Pesangon
Kota Bekasi diguncang isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menimpa 24 karyawan sebuah perusahaan distributor cokelat terkemuka di wilayah Rawalumbu. Para pekerja tersebut mengaku diberhentikan secara sepihak tanpa surat peringatan (SP) dan tanpa kompensasi yang layak, menimbulkan gejolak dan ketidakpastian di kalangan buruh.
Kisah pilu ini bermula pada 14 April lalu, ketika 24 karyawan dipanggil mendadak oleh pihak manajemen perusahaan. Tanpa diduga, mereka disodori surat PHK yang berlaku efektif keesokan harinya, 15 April. Hal yang membuat para pekerja semakin terpukul adalah fakta bahwa 23 dari 24 karyawan yang dipecat merupakan anggota aktif serikat pekerja di perusahaan tersebut. Hal ini menimbulkan spekulasi adanya tindakan anti-serikat pekerja atau union busting.
Menurut penuturan Sucahyadi, salah seorang korban PHK yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Advokasi PUK perusahaan, surat PHK tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pekerja. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah penolakan tersebut, serikat pekerja berinisiatif melakukan dialog informal dengan manajemen perusahaan, namun upaya tersebut menemui jalan buntu. Pihak manajemen bersikeras bahwa keputusan PHK sudah final dan tidak dapat diganggu gugat.
Ironisnya, sejak 28 Mei 2025, seluruh pekerja yang terkena PHK sepihak telah dinonaktifkan dari sistem absensi perusahaan dan tidak lagi menerima upah. Padahal, belum ada putusan pengadilan hubungan industrial yang menyatakan PHK tersebut sah secara hukum. Para pekerja merasa hak-hak mereka telah dilanggar dan perusahaan telah bertindak semena-mena.
Manajemen perusahaan beralasan bahwa PHK ini dilakukan demi efisiensi. Namun, alasan ini dianggap janggal oleh para pekerja, terutama mengingat banyak di antara mereka telah mengabdi selama lebih dari 20 tahun. Mereka mencurigai adanya motif tersembunyi di balik PHK ini, yang berkaitan dengan aktivitas mereka di serikat pekerja. Sucahyadi dan rekan-rekannya merasa menjadi korban pemberangusan serikat pekerja karena selama ini mereka tidak pernah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang dapat dibenarkan.
Dalam situasi yang serba tidak pasti ini, para pekerja yang menjadi korban PHK sepihak berharap uluran tangan dari Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel. Mereka berharap Noel dapat turun langsung ke Bekasi dan membantu mereka menyelesaikan masalah ini. Deni Saefudin, salah seorang korban PHK yang telah bekerja selama lebih dari 20 tahun, mengungkapkan kekecewaannya dan memohon bantuan Noel. Ia merasa telah dibuang begitu saja setelah mengabdikan diri selama puluhan tahun untuk membesarkan perusahaan.
"Kami bagian dari proses ini. Proses seperti perusahaan sebesar ini. Untuk itu, Pak Noel, kami mohon turun, Pak ke Bekasi, Pak. Lihat perusahaan kami," imbuh Deni dengan nada penuh harap.
Berikut beberapa poin penting yang menjadi sorotan dalam kasus PHK ini:
- PHK Sepihak: Pemecatan dilakukan tanpa surat peringatan dan sosialisasi.
- Kompensasi Tidak Layak: Para pekerja tidak menerima kompensasi yang sesuai dengan masa kerja mereka.
- Union Busting: Dugaan pemberangusan serikat pekerja menjadi perhatian utama.
- Dalih Efisiensi: Alasan efisiensi perusahaan dipertanyakan kebenarannya.
- Harapan pada Wamenaker: Para pekerja berharap Wamenaker dapat turun tangan menyelesaikan masalah ini.
Kasus PHK ini menjadi potret buram dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Perusahaan diharapkan dapat lebih menghargai hak-hak pekerja dan tidak melakukan tindakan sewenang-wenang. Pemerintah juga diharapkan dapat lebih aktif dalam melindungi hak-hak pekerja dan memastikan bahwa perusahaan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.