Pergantian Pimpinan DJP: Harapan Baru di Tengah Tekanan Penerimaan Negara
Kondisi ekonomi makro Indonesia tengah menghadapi tantangan yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 tercatat sebesar 4,87% (YoY), menjadi angka terendah dalam tiga tahun terakhir. Secara kuartalan (QoQ), ekonomi mengalami kontraksi sebesar -0,98%. Merespons perlambatan ini, Bank Indonesia mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50% pada Mei 2025. Ini adalah penurunan kedua dalam empat bulan terakhir, setelah sebelumnya penurunan serupa dilakukan pada Januari 2025. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tanda-tanda melambat.
Perlambatan ekonomi tercermin pula dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% (YoY) pada kuartal I 2025, lebih rendah dibandingkan kuartal IV 2024 yang mencapai 4,98%. Bahkan, momentum bulan Ramadan dan libur Lebaran pada akhir Maret 2025 tidak mampu mendongkrak pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga melampaui angka 5%.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara dapat dianalogikan seperti hubungan sebab-akibat. Pertumbuhan ekonomi yang kuat akan mendorong peningkatan pendapatan negara. Sebaliknya, pendapatan negara yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk berinvestasi dan membelanjakan anggaran secara lebih besar guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Prinsip fiscal multiplier effect menggambarkan bagaimana setiap rupiah belanja pemerintah dapat menghasilkan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB). Belanja infrastruktur dan bantuan sosial cenderung memiliki efek pengganda yang lebih besar dibandingkan dengan belanja pegawai dan barang. Secara sederhana, semakin besar belanja pemerintah, semakin besar pula potensi peningkatan PDB yang dihasilkan. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara memiliki hubungan yang saling mendukung.
Namun, ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi, penerimaan pajak juga terpengaruh. Pada triwulan I 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 322,6 triliun, mengalami penurunan sebesar 3,9% (YoY) dan hanya mencapai 14,7% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rasio pajak (tax ratio) pada kuartal I 2025 juga mengalami penurunan signifikan, mencapai 7,95% dibandingkan dengan 9,77% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ini merupakan rasio pajak terendah dalam lima tahun terakhir, bahkan lebih rendah dibandingkan saat pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020.
Penurunan rasio pajak ini mengindikasikan bahwa penurunan penerimaan pajak lebih signifikan dibandingkan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, masalah teknis pada sistem Coretax juga diyakini berkontribusi terhadap penurunan pendapatan pajak.
Dalam konteks ini, suksesi kepemimpinan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi langkah strategis untuk menyegarkan dan meningkatkan kinerja penerimaan negara. Penunjukan Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru merupakan langkah yang patut diapresiasi. Masa jabatan Suryo Utomo, Dirjen Pajak sebelumnya, telah mencapai 5 tahun 6 bulan, menjadikannya Dirjen Pajak dengan masa jabatan terpanjang sejak era Reformasi.
Penunjukan Bimo Wijayanto sebagai Dirjen Pajak dianggap sebagai langkah yang inovatif. Meskipun memulai karirnya di DJP, Bimo menghabiskan sepuluh tahun terakhir di luar Kementerian Keuangan. Penunjukan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk membawa perspektif baru dan menghindari stagnasi dalam kepemimpinan organisasi.
Dirjen Pajak yang baru akan menghadapi tantangan yang berat. Salah satunya adalah mengatasi kekurangan penerimaan pada tahun ini. Tugas besar lainnya adalah meningkatkan penerimaan negara melalui perluasan basis pajak tanpa membebani masyarakat kelas bawah. Selain itu, pembenahan sistem perpajakan yang lebih akuntabel juga menjadi prioritas. Dirjen Pajak yang baru perlu memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola pajak yang sempat terganggu akibat kendala teknis pada sistem administrasi Coretax.
Bimo Wijayanto meraih gelar Doktor dari University of Canberra pada tahun 2015 dengan disertasi tentang mikrosimulasi Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di Indonesia. Setelah satu dekade, Bimo akhirnya memiliki kesempatan untuk menerapkan konsep dan pemikirannya dalam meningkatkan penerimaan negara.
Kembalinya Bimo ke DJP diiringi dengan optimisme. Optimisme di tengah tantangan yang sulit dapat menjadi katalis untuk perubahan positif. Selamat bertugas kepada Dirjen Pajak yang baru!