Jakarta Catatkan Deflasi Mei 2025: Analisis Mendalam Dampak Terhadap Perekonomian

Jakarta mencatatkan deflasi sebesar 0,24% pada bulan Mei 2025, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DKI. Penurunan harga komoditas seperti bawang merah, cabai rawit, cabai merah, bawang putih, dan tarif angkutan udara menjadi pendorong utama deflasi tersebut. Secara rinci, bawang merah memberikan andil deflasi terbesar yaitu 0,09%, diikuti cabai rawit dan cabai merah masing-masing 0,07%, bawang putih 0,03%, dan tarif angkutan udara 0,02%. Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau tercatat sebagai kontributor deflasi terbesar dengan andil 0,27%, sementara sektor transportasi menyumbang 0,05%.

Kendati demikian, secara tahunan, Jakarta masih mengalami inflasi sebesar 2,07%, yang masih berada dalam rentang target aman pemerintah yaitu 2,5% plus minus 1%. Fenomena deflasi ini memunculkan pertanyaan apakah penurunan harga ini merupakan indikasi positif atau justru mengisyaratkan adanya masalah struktural dalam perekonomian.

Deflasi yang terjadi di Jakarta selaras dengan tren deflasi nasional sebesar 0,37% (mtm). Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, berpendapat bahwa deflasi ini tidak serta merta menjadi pertanda baik. Ia menekankan bahwa deflasi ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat pasca-Lebaran 2025. Hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi belum merata di seluruh lapisan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.

Walaupun inflasi inti nasional masih tumbuh 2,4% secara tahunan, angka ini menunjukkan bahwa permintaan domestik belum sepenuhnya pulih. Masyarakat kelas menengah ke bawah belum merasakan dampak signifikan dari dukungan fiskal pemerintah. Menurut Pardede, deflasi ini merupakan kombinasi dari sisi suplai yang kuat didukung oleh perbaikan distribusi logistik, serta permintaan yang lemah akibat daya beli yang tertahan, khususnya di kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menerima dukungan fiskal yang memadai.

Koreksi harga pangan strategis seperti cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah memang terjadi setelah mengalami lonjakan selama bulan Ramadan dan Idul Fitri 2025. Penurunan harga ini sebenarnya telah diprediksi dan bersifat musiman. Namun, tanpa diiringi dengan peningkatan permintaan, penurunan harga ini justru dapat mengindikasikan kontraksi konsumsi rumah tangga, bukan sekadar efisiensi pasar.

BPS juga mencatat bahwa sektor informasi, komunikasi, dan jasa keuangan mengalami deflasi secara tahunan, dengan kontribusi negatif terhadap inflasi sebesar 0,01% masing-masing. Ini menunjukkan adanya penurunan harga atau stagnasi di sektor-sektor yang biasanya menjadi indikator pertumbuhan konsumsi non-pangan.

Secara keseluruhan, meskipun deflasi dapat dianggap sebagai keberhasilan dalam menjaga stabilitas harga, dalam konteks Jakarta pada Mei 2025, hal ini justru menjadi sinyal kewaspadaan terhadap lemahnya permintaan domestik. Daya beli yang belum pulih dan pemulihan ekonomi yang belum merata pasca-pandemi menyebabkan deflasi ini lebih tepat dianggap sebagai peringatan dini daripada sebuah pencapaian ekonomi. Diperlukan penguatan dukungan fiskal, peningkatan belanja sosial yang terarah, serta pemulihan daya beli masyarakat kelas bawah agar stabilitas harga tercipta bukan karena kelesuan ekonomi, melainkan karena efisiensi pasar dan peningkatan produktivitas.

Berikut rincian komoditas penyumbang deflasi:

  • Bawang Merah (0,09%)
  • Cabai Rawit (0,07%)
  • Cabai Merah (0,07%)
  • Bawang Putih (0,03%)
  • Tarif Angkutan Udara (0,02%)