Sengketa Lahan di Cibinong, Atalarik Syach Soroti Proses Hukum yang Janggal
Aktor Atalarik Syach kembali menyuarakan ketidakpuasannya terkait eksekusi sebagian lahan miliknya di Cibinong, Jawa Barat. Hal ini merupakan buntut dari sengketa hukum yang melibatkan dirinya dengan pihak Dede Tasno sejak tahun 2015.
Sengketa ini berujung pada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Atalarik Syach tidak memiliki hak yang sah atas lahan seluas 7.000 meter persegi tersebut. Sofyan, kuasa hukum Atalarik Syach, mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang dianggap merugikan kliennya.
"Menurut pandangan kami, ada ketidaksesuaian dalam putusan tingkat pertama. Banyak pertimbangan hukum yang tidak diambil oleh majelis hakim, dan ini sangat merugikan," ujar Sofyan di Pengadilan Negeri Cibinong.
Pihak Atalarik Syach masih mempertimbangkan opsi hukum luar biasa, seperti Peninjauan Kembali (PK) kedua. Salah satu poin yang disoroti adalah ketidakterlibatan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam putusan pengadilan tingkat pertama.
"Karena sudah inkrah, upaya hukum lain sudah tidak memungkinkan. Namun, kami sedang mempelajari berkas-berkas terkait PK kedua. Kami juga baru mendapatkan plotting dari BPN terkait penetapan eksekusi. Pada tingkat pertama, BPN tidak dilibatkan," jelas Sofyan.
Kuasa hukum Atalarik Syach juga mempertanyakan mengapa BPN baru dilibatkan setelah penetapan eksekusi. Padahal, peran BPN sangat penting dalam menentukan letak bidang perkara.
"Kenapa sekarang BPN baru dilibatkan? Ini menjadi pertanyaan. Letak objek perkara harus jelas, jangan sampai lahan milik orang lain ikut dieksekusi. Kami sudah mendapatkan berkas-berkas penting seperti Aanmaning, Konstatering, dan penetapan eksekusi. Semuanya masih akan kami pelajari," tegas Sofyan.
Atalarik Syach sendiri mengaku kecewa karena sebagian tanah yang telah ditempatinya sejak tahun 2003 harus digusur. Ia merasa proses pemilikan lahan yang dilakukan sejak tahun 2000 telah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
"Saya tinggal di sini sejak 2003, proses pemilikan lahan sejak 2000, gugatannya tahun 2015, dan sampai sekarang belum selesai. Dari kacamata awam, saya merasa bingung. Saya merasa sudah menjalankan proses pemilikan sebaik mungkin sebagai warga negara," tutur Atalarik.
Atalarik Syach menambahkan bahwa kasus ini menjadi pembelajaran baginya tentang kompleksitas urusan jual beli tanah di era modern. Ia juga berhati-hati dalam menanggapi kemungkinan adanya pihak-pihak yang bermain di balik sengketa ini.
"Siapa yang tidak ingin memperjuangkan haknya? Namun, karena negara kita berdasarkan hukum, semua harus dilakukan secara formatif dan benar. Peradilan di Republik Indonesia harus terbuka bagi masyarakat yang paling awam sekalipun," kata Atalarik.
"Anggap saja saya orang yang paling awam, saya belajar seni peran, bukan hukum. Saya menempatkan diri sebagai orang yang sebodoh-bodohnya, dan menggunakan kuasa hukum untuk memperjuangkan hak saya," pungkasnya.
Kasus ini masih berlanjut dan pihak Atalarik Syach berupaya untuk mencari keadilan melalui jalur hukum yang tersedia.