Janji THR Ojol: Antara Ikhtiar Pemerintah dan Realitas Eksploitasi Digital
Janji THR Ojol: Antara Ikhtiar Pemerintah dan Realitas Eksploitasi Digital
Pengumuman Presiden Prabowo Subianto terkait pemberian bonus Hari Raya Idul Fitri bagi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir aplikasi disambut beragam reaksi. Sebagian pihak mengapresiasi langkah tersebut sebagai upaya pemerintah untuk memperhatikan nasib pekerja gig economy yang selama ini rentan terhadap ketidakpastian hukum dan minimnya perlindungan ketenagakerjaan. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa janji tersebut berpotensi menjadi macan ompong, mengingat sejarah panjang perjuangan pekerja digital untuk mendapatkan hak-hak dasar, termasuk THR.
Selama satu dekade, tuntutan para pengemudi ojol atas THR selalu diabaikan oleh aplikator. THR hanyalah salah satu dari banyak bentuk perlindungan yang seharusnya mereka terima. Keengganan aplikator untuk mengakui hak-hak pekerja ini menjadi fokus utama permasalahan. Respons pemerintah, walau tergolong langkah awal, masih jauh dari cukup untuk menjamin kesejahteraan jutaan pekerja digital di Indonesia. Bahkan, dalam konteks THR sekalipun, aplikator justru berupaya mencari celah untuk menghindari tanggung jawab mereka.
Beberapa aplikator merespons imbauan presiden dengan menawarkan “bonus kinerja khusus”. Skema ini, yang dikemas sebagai bentuk apresiasi, justru menjadi alat eksploitasi terselubung. Bonus tersebut bukanlah hak rutin, melainkan insentif bersyarat yang diberikan hanya kepada pengemudi yang memenuhi kriteria tertentu, seperti jumlah pesanan, tingkat penyelesaian order, dan jam kerja. Sistem ini memaksa pengemudi untuk bekerja lebih keras demi mengejar bonus yang pada akhirnya lebih menguntungkan perusahaan.
Lebih lanjut, beberapa aplikator, seperti Maxim, secara terbuka menyatakan ketidakmampuan finansial mereka untuk memberikan THR, dengan alasan hubungan dengan pengemudi hanya sebatas “kemitraan,” bukan hubungan kerja. Argumentasi ini digunakan untuk menghindari kewajiban memberikan THR yang merupakan hak pekerja. Sementara itu, aplikator lain seperti Gojek, menawarkan program “Tali Asih Hari Raya”, yang juga bersifat insentif dan bukan hak yang wajib diberikan. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar pekerja gig economy dalam menghadapi korporasi raksasa.
Sistem pemotongan komisi yang diterapkan oleh aplikator juga menjadi sumber utama ketidakadilan. Pengemudi bekerja dalam sistem yang sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan, tanpa ruang untuk bernegosiasi. Ironisnya, saat berbicara tentang hak-hak pekerja, aplikator berlindung di balik status “kemitraan”, seolah pengemudi adalah wirausahawan mandiri yang bekerja dalam sistem yang adil. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang sistematis.
Untuk semakin mengurangi beban perusahaan, aplikator juga memperkenalkan program “Traktir Driver” dan “Tip Lebih”, yang mengalihkan tanggung jawab kesejahteraan pengemudi dari perusahaan ke konsumen. Alih-alih memberikan THR yang layak, perusahaan mendorong pelanggan untuk menanggung beban tersebut. Ini merupakan strategi untuk menghindari kewajiban perusahaan dan membebani konsumen. Narasi “apresiasi dari pelanggan” ini hanyalah upaya untuk menutupi kenyataan bahwa perusahaan enggan mengambil tanggung jawab mereka.
Kesimpulan: Imbauan presiden tentang THR ojol merupakan langkah positif, namun tanpa regulasi yang tegas, hal tersebut hanya akan menjadi seremonial belaka. Permasalahan mendasar terletak pada ketidakjelasan status hukum pengemudi ojol dan lemahnya regulasi yang melindungi mereka. Status “mitra” hanyalah dalih aplikator untuk menghindari tanggung jawab sebagai pemberi kerja dan menekan pengemudi agar terus bekerja tanpa perlindungan yang layak. Indonesia perlu belajar dari negara lain seperti Inggris dan Spanyol yang telah memberikan pengakuan hukum yang lebih baik bagi pekerja gig economy. Yang dibutuhkan bukan gimmick, melainkan regulasi yang melindungi hak-hak pekerja secara adil dan transparan, serta memastikan kesejahteraan para pekerja gig economy yang menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia.