Puluhan Pekerja Distributor Cokelat di Bekasi Mengadu ke Wamenaker Akibat PHK Sepihak

Gelombang demonstrasi mewarnai depan sebuah perusahaan distributor cokelat terkemuka di Kota Bekasi, Jawa Barat. Sebanyak 24 mantan karyawan perusahaan tersebut turun ke jalan, menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami setelah diberhentikan secara sepihak oleh manajemen perusahaan.

Para mantan karyawan ini, yang beberapa di antaranya telah mengabdi selama lebih dari dua dekade, merasa diperlakukan tidak adil. Mereka mengklaim bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan tanpa pemberitahuan atau peringatan sebelumnya. Aksi unjuk rasa ini merupakan puncak dari kekecewaan mereka, sekaligus upaya terakhir untuk mencari keadilan.

Dalam orasinya, Deni Saefudin, salah seorang perwakilan demonstran, mengungkapkan kekecewaannya. Ia merasa kontribusinya selama bertahun-tahun seolah tidak dihargai. "Kami bagian dari proses perusahaan ini menjadi besar. Kami mohon Bapak Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) untuk turun langsung ke Bekasi, melihat kondisi perusahaan kami," ujarnya dengan nada penuh harap.

Kronologi Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut penuturan para karyawan, gelombang PHK ini terjadi pada tanggal 14 April 2025. Saat itu, 24 orang karyawan dipanggil secara mendadak oleh pihak Human Resources Department (HRD) dan atasan mereka. Tanpa basa-basi, mereka langsung menerima surat PHK, tanpa didahului Surat Peringatan (SP) atau sosialisasi apapun.

Surat tersebut menyatakan bahwa masa kerja mereka berakhir pada tanggal 15 April 2025, atau sehari setelah pertemuan tersebut. Merasa diperlakukan tidak adil, seluruh karyawan yang dipanggil menolak menandatangani surat PHK tersebut.

Ironisnya, dari 24 karyawan yang di-PHK, 23 di antaranya merupakan pengurus dan anggota serikat pekerja di perusahaan tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa PHK tersebut terkait dengan aktivitas serikat pekerja.

Usai PHK sepihak tersebut, perwakilan serikat pekerja sempat berupaya melakukan dialog dengan pihak manajemen perusahaan. Namun, upaya tersebut menemui jalan buntu. Pihak perusahaan bersikeras bahwa keputusan PHK sudah final dan tidak dapat diganggu gugat.

Akibatnya, sejak tanggal 28 Mei 2025, para karyawan yang terkena PHK telah dinonaktifkan dari sistem absensi perusahaan dan tidak lagi menerima upah. Selain itu, mereka juga tidak mendapatkan kompensasi apapun atas pemutusan hubungan kerja tersebut. Hal ini semakin memperburuk kondisi finansial mereka dan keluarga.

Harapan kepada Wamenaker

Dalam situasi yang sulit ini, para karyawan yang terkena PHK berharap banyak kepada Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer, atau yang akrab disapa Noel. Mereka berharap Noel dapat turun tangan dan membantu mereka mendapatkan kembali pekerjaan mereka.

Mereka juga berharap agar Wamenaker dapat menindak perusahaan yang dianggap telah melanggar hak-hak pekerja. Kasus ini menjadi preseden buruk bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia, dan para karyawan berharap agar keadilan dapat ditegakkan.

Para demonstran berjanji akan terus melakukan aksi unjuk rasa hingga tuntutan mereka dipenuhi. Mereka juga berencana untuk melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, serta mencari dukungan dari berbagai organisasi buruh dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Kasus PHK sepihak ini menjadi sorotan publik dan menuai kecaman dari berbagai pihak. Banyak pihak menilai bahwa perusahaan distributor cokelat tersebut telah bertindak semena-mena dan tidak menghargai hak-hak pekerja. Diharapkan, kasus ini dapat segera diselesaikan secara adil dan bijaksana, serta menjadi pelajaran bagi perusahaan-perusahaan lain agar lebih memperhatikan kesejahteraan dan hak-hak karyawan.