Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Pramono-Rano: Koalisi Sipil Soroti Kinerja Delapan Program Prioritas
Koalisi masyarakat sipil melayangkan kritik tajam terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno. Dalam laporan yang diserahkan di Balai Kota Jakarta, koalisi menyoroti delapan program prioritas yang dinilai belum menunjukkan hasil signifikan.
Koalisi yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), dan LBH Jakarta memberikan rapor merah pada sebagian besar program tersebut, dengan nilai di bawah 50 dari skala 75. Evaluasi ini didasarkan pada pengamatan terhadap berbagai aspek, mulai dari pengelolaan lingkungan hingga pelayanan publik.
Berikut rincian penilaian terhadap delapan program prioritas:
- Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: 20
- Pengelolaan Sampah: 10
- Pemenuhan Lapangan Kerja: 20
- Program Kampung Bayam: 20
- Reforma Agraria Perkotaan: 20
- Rancangan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum: 0
- Pelayanan Publik dan Birokrasi: 10
- Penanganan Penggusuran: 30
Jeanny Sirait, Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia, mengungkapkan kekecewaannya terhadap arah kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Pramono-Rano. Menurutnya, meskipun pasangan ini telah meluncurkan program kerja cepat dalam 100 hari pertama, banyak masalah krusial di Jakarta yang masih terabaikan.
"Masih banyak permasalahan Jakarta yang terabaikan, mulai dari lapangan kerja, lingkungan, hingga penggusuran,” ujarnya. Lebih lanjut, Jeanny menambahkan bahwa pelayanan publik masih lamban, aduan masyarakat seringkali tidak direspon, dan berbagai persoalan lama masih belum terselesaikan. Ia menilai bahwa program-program yang dijalankan masih bersifat reaktif dan kurang melibatkan partisipasi warga serta keberlanjutan lingkungan.
Salah satu contoh yang disoroti adalah program job fair di 44 kecamatan yang dianggap belum menyentuh akar permasalahan pengangguran, terutama bagi kelompok rentan dan pekerja informal. "Tanpa pelatihan terarah, job fair hanyalah seremonial belaka. Jakarta harus menyediakan fasilitas kerja yang adil dan berkelanjutan,” tegas Jeanny.
Ketidakadilan juga dirasakan oleh pekerja informal, seperti pedagang kaki lima (PKL) yang seringkali menjadi korban penggusuran tanpa adanya solusi yang memadai. Di sektor lingkungan, janji untuk mengganti proyek Giant Sea Wall dengan solusi alami Giant Mangrove Wall masih belum terealisasi. Bahkan, pemerintah justru melanjutkan proyek tanggul laut yang dinilai merusak ekosistem dan menggusur warga, seperti yang terjadi di Angke Kapuk.
Pengelolaan sampah juga menjadi sorotan utama. Meskipun Jakarta memiliki ribuan bank sampah, hanya sebagian kecil yang aktif. Pemerintah juga dinilai kurang tepat dalam memilih solusi pengelolaan sampah, dengan mendorong teknologi RDF di Rorotan yang justru ditolak oleh warga. Koalisi sipil menekankan pentingnya fokus pada pengurangan sampah dari sumbernya, perluasan larangan penggunaan plastik sekali pakai, dan penguatan partisipasi warga.
Persoalan penggusuran di Jakarta juga menjadi perhatian serius. Dalam lima bulan pertama tahun 2025, tercatat tujuh kasus penggusuran yang sebagian melibatkan Pemprov Jakarta dan dilakukan tanpa proses hukum yang adil. Guntoro dari Urban Poor Consortium menyoroti keberadaan Pergub 207/2016 yang masih berlaku dan menyebabkan warga Jakarta terus hidup dalam ketakutan akan penggusuran.
Ia mencontohkan kasus Kampung Bayam, di mana warga yang telah diakui status hukumnya belum dapat menempati hunian karena sistem sewa yang dianggap memberatkan dan tidak transparan. "Pemerintah mengubah skema hunian menjadi sistem sewa yang berat tanpa melibatkan warga dalam musyawarah. Tidak ada transparansi, tidak ada solusi,” ungkap Guntoro.
Ketidakpastian ini menyebabkan warga kehilangan hak dasar untuk tinggal secara layak di kota tempat mereka hidup dan berkontribusi. "Jakarta harus berubah. Kota ini semestinya melindungi warganya, bukan terus-menerus menggusur mereka,” tegas Guntoro.
LBH Jakarta juga mengkritik belum diterbitkannya Perda Bantuan Hukum oleh Pemprov Jakarta, meskipun UU No. 16 Tahun 2011 telah lama mengamanatkan hal tersebut. Birokrasi yang diskriminatif dan tidak responsif terhadap aduan masyarakat semakin memperparah keadaan. Alif Fauzi Nurwidiastomo dari LBH Jakarta menilai bahwa birokrasi di Jakarta yang buruk dan pilih kasih telah merugikan warga serta bertentangan dengan Undang-Undang Pelayanan Publik.
"Pemprov Jakarta harus bertanggung jawab untuk memastikan hak atas bantuan hukum dan pelayanan publik yang adil bagi semua warga Jakarta,” ujar Alif Fauzi Nurwidiastomo. Koalisi masyarakat sipil menyadari bahwa 100 hari bukanlah waktu yang cukup untuk menyelesaikan semua persoalan. Namun, mereka menekankan bahwa masa ini seharusnya cukup untuk menunjukkan arah dan keberpihakan. Sayangnya, arah yang ditunjukkan oleh Pramono-Rano belum sejalan dengan visi Jakarta yang adil dan berkelanjutan. Koalisi menilai bahwa pemerintahan Pramono-Rano masih terjebak pada solusi instan yang justru memperparah masalah jangka panjang.
"Jakarta membutuhkan kepemimpinan yang sungguh-sungguh mendengar suara warga, konsisten berpihak pada lingkungan, dan berani mengambil langkah inovatif demi masa depan yang berkelanjutan,” pungkas Jeanny.