Rupiah Berpotensi Menguat di Tengah Kekhawatiran Tarif Impor AS

Nilai tukar rupiah diprediksi akan mengalami penguatan pada awal pekan, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran global terkait potensi penerapan tarif impor baru oleh Amerika Serikat. Sentimen pasar terpengaruh oleh kebijakan proteksionis yang diumumkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, yang menargetkan industri baja dan aluminium.

Ancaman kenaikan tarif impor baja dan aluminium oleh AS menjadi faktor utama yang menekan mata uang dollar AS, sehingga memberikan ruang bagi penguatan rupiah. Langkah ini, yang bertujuan melindungi industri dalam negeri AS, justru memicu kekhawatiran akan perang dagang yang lebih luas dan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global.

Trump mengumumkan kenaikan signifikan tarif impor baja dan aluminium. Tarif yang sebelumnya berada di angka 25 persen, kini dinaikkan menjadi 50 persen. Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk menutup celah yang dimanfaatkan pesaing asing untuk menghindari tarif sebelumnya. Ia menegaskan bahwa tarif yang lebih tinggi akan memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi industri baja AS.

Namun, penguatan rupiah juga dihadapkan pada tantangan internal. Data Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia terbaru menunjukkan kontraksi, yang mengindikasikan adanya perlambatan aktivitas manufaktur. Angka PMI manufaktur Indonesia berada di bawah level 50, yang menandakan kontraksi. Hal ini mencerminkan sentimen negatif di sektor manufaktur akibat lemahnya permintaan domestik dan kekhawatiran terhadap dampak tarif impor.

Pada awal perdagangan, rupiah menunjukkan tren positif dengan mencatatkan penguatan tipis. Rupiah dibuka pada level Rp 16.325 per dollar AS, menguat dibandingkan posisi sebelumnya di Rp 16.327 per dollar AS. Meskipun penguatan ini masih terbatas, namun memberikan indikasi bahwa sentimen pasar terhadap rupiah masih cukup positif di tengah ketidakpastian global.