Industri Perhotelan Jakarta Hadapi Tantangan Efisiensi Anggaran Pemerintah
Industri Perhotelan Jakarta Berjuang di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran
Sektor perhotelan di Jakarta tengah menghadapi tekanan signifikan akibat implementasi kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang dimulai sejak awal tahun 2025. Penurunan jumlah tamu hotel memaksa para pelaku industri untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menekan biaya operasional, terutama pada pos pengeluaran listrik dan air.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta, Sutrisno Iwantono, mengungkapkan bahwa efisiensi di segala lini menjadi prioritas utama bagi hotel-hotel di Jakarta. Kenaikan tarif listrik dan air menjadi faktor pendorong utama dalam upaya penghematan ini. Selain penurunan tingkat hunian kamar, pengelola hotel juga dibebani oleh kenaikan biaya operasional lainnya. Lonjakan tarif air dari PDAM yang mencapai 71 persen dan kenaikan harga gas sebesar 20 persen semakin memperburuk situasi.
Dampak Kenaikan UMP dan Ancaman PHK
Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) setiap tahun menambah tekanan pada neraca keuangan hotel. Ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran memaksa para pengusaha untuk mengambil langkah-langkah antisipatif yang berpotensi merugikan karyawan.
Sutrisno Iwantono menyatakan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, sebagian besar pengusaha hotel di Jakarta terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Survei PHRI menunjukkan bahwa pemilik hotel cenderung mengurangi jumlah pegawai sekitar 10-30 persen untuk menekan biaya operasional.
PHRI Jakarta telah mengusulkan lima langkah strategis untuk memulihkan sektor perhotelan di Jakarta, diantaranya:
- Pelonggaran kebijakan anggaran pemerintah untuk perjalanan dinas dan kegiatan rapat.
- Peninjauan kembali terhadap kebijakan tarif air.
- Peninjauan kembali harga gas industri.
- Peninjauan kembali UMP sektoral.
Sepinya Ruang Rapat Pengaruhi Pendapatan Hotel
Ketua Umum Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA), I Gede Arya Pering, menyoroti bahwa penurunan pendapatan hotel juga disebabkan oleh sepinya ruang rapat yang disewa oleh tamu. Idealnya, kontribusi okupansi kamar hotel dan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) adalah seimbang, yaitu 50:50. Namun, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah telah menyebabkan penurunan signifikan dalam penyewaan ruang rapat.
Wakil Ketua Umum IHGMA, Garna Sobhara Swara, memberikan contoh kasus yang terjadi di hotelnya, The 1O1 Jakarta Sedayu Darmawangsa. Hotel bintang 4 ini sangat merasakan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran. Hotel tersebut memiliki 10 ruang rapat dengan kapasitas total 200 orang. Setelah adanya efisiensi anggaran pemerintah, seluruh ruang rapat tersebut kosong.
"Sebelum efisiensi anggaran ini, saya bisa menampung 200 tamu, tetapi saat ini kosong," kata Garna, menggambarkan betapa parahnya dampak kebijakan tersebut terhadap bisnis perhotelan di Jakarta.