Perjuangan LBH Apik Semarang: Menghadapi Ancaman dan Tantangan dalam Pembelaan Korban Kekerasan Seksual

Perjuangan LBH Apik Semarang: Menghadapi Ancaman dan Tantangan dalam Pembelaan Korban Kekerasan Seksual

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Semarang, garda terdepan dalam pembelaan korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Jawa Tengah, berjuang menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang sistematis. Bukan hanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran yang menjadi hambatan, namun juga intimidasi, teror, dan bahkan serangan mistis yang terus menerus mereka hadapi. Direktur LBH Apik Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, mengungkapkan realita pahit yang dihadapi timnya dalam menjalankan misi mulia tersebut. Stigma negatif sebagai ‘tukang menceraikan’ seringkali muncul dari masyarakat, terutama di wilayah Demak, menghalangi upaya mereka untuk memberikan bantuan hukum yang efektif kepada para korban. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya budaya patriarki yang masih bercokol di tengah masyarakat.

Ancaman yang dihadapi LBH Apik Semarang bersifat multi-faceted dan semakin mengkhawatirkan. Selain dihadapkan pada peretasan akun media sosial dan nomor telepon pribadi para advokat, mereka juga mengalami:

  • Intimidasi dan Pelecehan: Para advokat LBH Apik Semarang kerap dicaci maki dan diintimidasi oleh berbagai pihak. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka mengalami pemukulan fisik saat berupaya melerai kasus KDRT.
  • Upaya Penghentian Kasus: Ada upaya-upaya yang dilakukan untuk menghentikan penanganan kasus, termasuk dengan penawaran uang puluhan juta rupiah agar LBH Apik Semarang mundur dari kasus yang sedang ditangani.
  • Serangan Mistis: Yang paling mengkhawatirkan adalah adanya upaya serangan mistis, berupa pengiriman santet yang masih dialami hingga tahun 2024. Aksi-aksi ini sulit dibuktikan secara hukum, sehingga menambah kompleksitas tantangan yang mereka hadapi.
  • Penguntitan dan Tabrak Lari: Seorang advokat pernah mengalami penguntitan setelah mendampingi kasus yang melibatkan pelaku berjabatan tinggi, yang berujung pada peristiwa tabrak lari. Insiden ini semakin memperlihatkan betapa berbahayanya tugas yang diemban oleh para advokat LBH Apik Semarang.

Menyikapi berbagai ancaman tersebut, LBH Apik Semarang mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi keselamatan dan keamanan timnya. Salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan untuk mengarahkan panggilan dari nomor tidak dikenal ke hotline khusus. Langkah ini bertujuan untuk melindungi mental dan keamanan para pendamping hukum. Namun, ancaman tidak hanya ditujukan kepada para advokat. Banyak korban kekerasan seksual dan KDRT sendiri yang enggan melaporkan kasus yang dialaminya karena berbagai faktor, antara lain:

  • Relasi Kuasa dan Ekonomi dengan Pelaku: Korban seringkali takut melapor karena memiliki ketergantungan ekonomi atau relasi kuasa dengan pelaku kekerasan.
  • Kurangnya Dukungan Keluarga: Dukungan keluarga yang minim juga menjadi penghalang bagi korban untuk berani melapor dan mencari keadilan.
  • Ketakutan terhadap Dampak Hukum: Ketakutan akan implikasi hukum dan stigma sosial juga menjadi alasan korban enggan melaporkan kasusnya.

Dalam upayanya memperkuat gerakan keadilan gender, LBH Apik Semarang terus berupaya menjalin kerjasama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat di berbagai desa. Mereka menyadari pentingnya peran tokoh agama, khususnya perempuan, dalam mendukung gerakan ini. Kerjasama dengan tokoh agama laki-laki masih terus diupayakan untuk memperluas jangkauan dan pengaruh gerakan ini.

Perjuangan LBH Apik Semarang ini menjadi cerminan betapa beratnya tantangan dalam memperjuangkan keadilan bagi korban kekerasan seksual dan KDRT di Indonesia. Dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, sangat dibutuhkan untuk melindungi dan memberdayakan LBH Apik Semarang dalam menjalankan misinya.