Polemik Pulau Kucing di Kepulauan Seribu: Antara Konservasi dan Pariwisata
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merelokasi populasi kucing liar ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu telah memicu perdebatan sengit. Inisiatif ini, yang digadang-gadang sebagai solusi kreatif untuk mengendalikan populasi kucing jalanan, menuai kritik dari berbagai pihak, terutama terkait dengan potensi dampak ekologis dan keberlanjutan jangka panjang.
Pengamat lingkungan dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, menekankan perlunya kajian mendalam sebelum merealisasikan rencana tersebut. Menurutnya, memindahkan kucing ke sebuah pulau bukanlah solusi sederhana, mengingat setiap pulau memiliki ekosistem yang unik dan rantai makanan yang kompleks. Kehadiran kucing sebagai predator baru berpotensi mengganggu keseimbangan ekologis yang sudah mapan, bahkan mengancam keberadaan spesies asli pulau tersebut.
"Pertanyaan krusialnya adalah, apakah sumber pakan di pulau tersebut mencukupi untuk menampung populasi kucing yang baru? Jika tidak, kucing-kucing tersebut bisa mengalami kelaparan dan kematian massal. Sebaliknya, jika populasi kucing terlalu dominan, mereka bisa menjadi spesies invasif yang merugikan," ujar Mahawan.
Lebih lanjut, Mahawan menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap populasi kucing di Jakarta sebelum mengambil keputusan untuk relokasi. Jika memang populasi kucing liar sudah melebihi ambang batas, pengendalian populasi sebaiknya dilakukan langsung di wilayah DKI Jakarta, bukan dengan memindahkan mereka ke pulau lain.
Alternatif pengendalian populasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Program sterilisasi: Melalui program kebiri atau pemisahan jantan dan betina, laju pertumbuhan populasi kucing dapat ditekan secara signifikan.
- Pembatasan pemberian makanan di ruang publik: Pemberian makanan yang tidak terkontrol dapat meningkatkan daya tahan hidup kucing liar dan mempercepat pertumbuhan populasi mereka.
- Penyaluran kucing liar ke shelter: Dengan menampung kucing liar di shelter, mereka dapat lebih terkelola dan mendapatkan perawatan yang layak.
Wacana menjadikan pulau kucing sebagai destinasi wisata juga menuai keraguan. Mahawan mencontohkan keberhasilan pulau kucing di Jepang, yang tidak hanya mengandalkan keberadaan kucing sebagai daya tarik utama, tetapi juga didukung oleh keindahan alam, ketenangan, dan suasana unik yang ditawarkan. Tanpa faktor-faktor pembeda yang signifikan, pulau kucing di Kepulauan Seribu berpotensi gagal menarik wisatawan dan bahkan menimbulkan masalah baru, seperti kasus populasi monyet yang tidak terkendali di beberapa tempat wisata.
Ide pulau kucing ini sebelumnya diungkapkan oleh Gubernur Pramono Anung, yang terinspirasi oleh kesuksesan pulau kucing di Jepang sebagai destinasi wisata populer. Jepang sendiri memiliki beberapa pulau kucing terkenal, seperti Tashirojima di Prefektur Miyagi dan Aoshima di Prefektur Ehime. Tashirojima, yang dikenal sebagai Cat Island, bahkan memiliki kuil khusus untuk kucing dan penduduk lokal meyakini bahwa memberi makan kucing akan membawa keberuntungan. Sementara itu, di Aoshima, jumlah kucing diperkirakan enam kali lebih banyak daripada jumlah manusia. Kucing-kucing ini awalnya diperkenalkan untuk mengendalikan populasi tikus di kapal nelayan, namun kini mereka telah mendominasi pulau tersebut.