Dua Orang Ditetapkan Sebagai Tersangka dalam Kasus Longsor Maut di Gunung Kuda, Cirebon

Kepolisian Resor Kota (Polresta) Cirebon telah menetapkan dua orang sebagai tersangka terkait tragedi longsor yang terjadi di area penambangan batu alam Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Insiden yang terjadi pada hari Jumat, 30 Mei lalu ini, mengakibatkan 19 orang meninggal dunia dan enam lainnya masih dalam pencarian.

Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni, menyatakan bahwa pengelola tambang dianggap melakukan kelalaian dalam operasionalnya. Meskipun izin usaha pertambangan (IUP) koperasi tersebut masih berlaku hingga November 2025, praktik penambangan yang dilakukan dinilai tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.

"Berdasarkan keterangan dari ahli yang kami koordinasikan, SOP dan metode penambangan yang diterapkan ternyata keliru," ungkap Kombes Pol Sumarni pada hari Minggu, 1 Juni 2025. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa pemilik tambang diduga kuat tidak mengikuti prosedur teknik penambangan yang benar dan mengabaikan aspek keselamatan para pekerja.

Dari hasil pemeriksaan terhadap delapan orang saksi, penyidik menemukan indikasi pelanggaran terhadap prosedur penambangan dan standar keselamatan kerja. Polisi kemudian meningkatkan status dua orang menjadi tersangka.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi, kami telah menetapkan dua pihak sebagai tersangka. Mereka adalah pemilik koperasi pesantren Al-Azariyah dan kepala teknik tambang," jelas Kapolresta Cirebon.

Dalam penanganan kasus ini, pihak kepolisian menjerat kedua tersangka dengan sejumlah pasal berlapis, termasuk:

  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
  • Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.

"Kami menemukan unsur pidana dalam kasus ini. Proses pemeriksaan terus berjalan intensif dan kami telah melakukan gelar perkara," tegas Kombes Pol Sumarni. Pihaknya akan terus mendalami kasus ini, terutama terkait dugaan pengabaian keselamatan kerja oleh pengelola tambang.

"Ancaman pidana sesuai dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah pidana penjara paling lama 15 tahun," pungkasnya.