Surat Edaran Anti Diskriminasi Tenaga Kerja Dikecam Kurang Tegas, Pemerintah Didesak Revisi UU Ketenagakerjaan
SE Anti Diskriminasi Tenaga Kerja Tuai Kritik: Langkah Setengah Hati?
Penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja oleh pemerintah, yang bertujuan menghapus praktik diskriminatif seperti pembatasan usia dan persyaratan penampilan fisik dalam lowongan kerja, menuai beragam reaksi. Meskipun diapresiasi sebagai langkah awal, banyak pihak menilai SE ini belum cukup kuat untuk mengatasi akar permasalahan diskriminasi dalam dunia kerja di Indonesia.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, secara tegas menyatakan kekecewaannya terhadap SE tersebut. Menurutnya, penerbitan SE menunjukkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) masih ragu-ragu dalam menangani masalah diskriminasi rekrutmen. Mirah berpendapat bahwa masalah ketenagakerjaan yang krusial seperti Tunjangan Hari Raya (THR) yang diatur oleh Surat Edaran pun masih banyak dilanggar.
"Saya tidak tahu apa pertimbangannya Kementerian Tenaga Kerja hanya mengeluarkan surat edaran. Kalau saya lihat, itu terkesan masih setengah hati,” ujar Mirah.
Senada dengan Mirah, Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, berpendapat bahwa SE anti diskriminasi lowongan kerja tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Ia menekankan perlunya langkah yang lebih konkret dari pemerintah, seperti penerbitan Keputusan Menteri (Kepmen), untuk memastikan efektivitas pemberantasan diskriminasi terhadap pekerja.
"Itu tidak cukup dilakukan seperti itu. Surat edaran tidak mempunyai kekuatan hukum. Kalau pemerintah serius, kementerian tenaga kerja serius, harus mengeluarkan kepmen (keputusan menteri) secara berani,” kata Aznil.
Menurut Aznil, SE bersifat himbauan dan tidak memiliki sanksi yang jelas. Ia mengusulkan agar poin-poin anti diskriminasi dimasukkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk memiliki kekuatan hukum yang kuat. Aznil juga mengatakan pemerintah harus membuat gerakan yang komprehensif, yang holistik. Bukan sekadar lip service saja.
Kelemahan Mendasar SE Anti Diskriminasi
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar, menyoroti kelemahan utama SE, yaitu statusnya yang bukan regulasi mengikat. Hal ini menyebabkan implementasinya sangat bergantung pada kebijakan internal masing-masing perusahaan.
"Karena sifatnya hanya surat edaran, maka tidak bersifat regulasi yang mengikat. Jadi betul sekali, ini kemudian dikembalikan lagi ke kebijakan internal masing-masing perusahaan,” ujar Media.
Media menyarankan agar pemerintah mengintegrasikan aturan anti diskriminasi ke dalam regulasi yang bersifat mandatory, seperti Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Pemerintah (PP), atau bahkan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ia mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah lama menerapkan regulasi equal employment yang memungkinkan pekerja melaporkan praktik diskriminatif.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menambahkan bahwa SE Menaker tentang batas usia dalam persyaratan perekrutan karyawan baru tidak memberikan pengaruh apapun terhadap perusahaan. Ia mengungkapkan bahwa aturan serupa telah ada sejak 20 tahun lalu, namun tidak dijalankan di lapangan. Iqbal berpendapat bahwa pembatasan usia dan persyaratan fisik dalam merekrut karyawan baru melanggar hak asasi manusia dan konstitusi.
Pemerintah Berjanji Perkuat Regulasi
Merespons kritik publik, Wakil Menteri Tenaga Kerja RI, Immanuel Ebenezer, menyatakan bahwa pemerintah akan memperkuat SE tersebut secara hukum. Ia menjelaskan bahwa SE ini adalah prakondisi untuk penerbitan Peraturan Menteri (Permen) atau regulasi yang lebih tinggi. Kemenaker juga mempertimbangkan untuk memasukkan ide anti diskriminasi ini ke dalam Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tengah dibahas di parlemen.
"SE ini sifatnya imbauan. Memang, ini prakondisi buat Peraturan Menteri (Permen) atau peraturan yang lebih tinggi,” kata Noel.
Dengan adanya janji pemerintah untuk memperkuat regulasi anti diskriminasi, diharapkan dunia kerja di Indonesia dapat menjadi lebih inklusif dan adil bagi semua tenaga kerja, tanpa memandang usia, penampilan fisik, atau faktor diskriminatif lainnya.