Menakar Kesejahteraan Bangsa: Pancasila di Tengah Paradoks Kewargaan

Refleksi Pancasila di Era Global: Antara Ideal dan Realita

Peringatan Hari Lahir Pancasila menjadi momentum krusial untuk merefleksikan relevansi dasar negara dalam konteks global yang dinamis. Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, melainkan fondasi pengetahuan dan kerangka berpikir bangsa Indonesia dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.

Di tengah pusaran globalisasi, Indonesia dihadapkan pada paradoks kewargaan yang mencolok. Di satu sisi, studi Global Flourishing Study (GFS) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan yang mengagumkan, melampaui ekspektasi banyak negara maju. Studi ini mengukur kesejahteraan berdasarkan dimensi kebahagiaan, kesehatan fisik-mental, makna hidup, karakter, dan relasi sosial.

Namun, ironi muncul ketika laporan Bank Dunia mengungkap bahwa jutaan penduduk Indonesia masih berjuang di bawah garis kemiskinan. Kontradiksi ini mengindikasikan adanya disparitas antara narasi kesejahteraan ideal dan realitas kemiskinan struktural yang mengakar.

Pancasila sebagai Solusi Holistik

Di tengah disorientasi nilai, krisis ekologis, kesenjangan sosial, dan kehampaan makna hidup yang melanda dunia, Pancasila menawarkan paradigma filosofis yang holistik. Lebih dari sekadar etika, Pancasila menghadirkan epistemologi lokal, cara pandang khas Indonesia dalam memahami dan menilai realitas.

Pancasila tidak melihat kesejahteraan sebagai capaian individual semata, melainkan sebagai proses kolektif yang berakar pada nilai kemanusiaan, keadilan sosial, musyawarah, dan gotong royong.

Dalam lintasan sejarahnya, interpretasi Pancasila mengalami fluktuasi seiring tantangan zaman. Keberagaman budaya, etnis, dan agama menjadi fondasi untuk membangun masyarakat inklusif dan bermartabat. Pancasila memberikan kerangka nilai dan orientasi kebajikan yang kontekstual dengan jati diri bangsa.

Pancasila bukanlah teks pasif, melainkan prinsip aktif yang menuntut aktualisasi dalam kebijakan, pendidikan, teknologi, dan budaya. Di era di mana dunia mengagungkan well-being, Pancasila menawarkan kesejahteraan berbasis nilai, kesejahteraan yang menyatu dengan jati diri dan martabat manusia. Paradigma ini menjadi jawaban atas tantangan globalisasi yang mengikis akar budaya bangsa.

Refleksi Kritis dan Aktualisasi Pancasila

Peringatan kelahiran Pancasila harus menjadi strategi kebudayaan dan peradaban untuk meneguhkan cita-cita bangsa: masyarakat adil, makmur, dan bermartabat. Cita-cita ini hanya dapat dicapai jika Pancasila menjadi dasar berpikir, bertindak, dan bergerak ke depan.

Refleksi kritis terhadap Pancasila berarti meradikalkan maknanya dalam praksis kebangsaan. Diperlukan perubahan paradigma dari Pancasila sebagai slogan simbolik menjadi sistem nilai dan epistemologi kehidupan publik.

Setiap kebijakan, riset ilmiah, sistem pendidikan, hingga praktik kewargaan harus berlandaskan semangat memanusiakan manusia, menghargai keberagaman, dan mengutamakan keadilan sosial.

Dalam konteks ini, penting untuk menghidupkan kembali sains warga yang demokratis, pengetahuan yang diproduksi oleh masyarakat yang terlibat aktif, kritis, dan reflektif terhadap realitasnya. Pancasila bukan hanya fondasi ideologis negara, tetapi juga proyek etik dan intelektual bangsa Indonesia.

Proyek jangka panjang ini menuntut keberanian untuk berpikir ulang cara hidup, cara memproduksi pengetahuan, dan cara memaknai kesejahteraan. Refleksi atas Pancasila harus menjadi gerakan transformatif yang menghidupkan nilai-nilai Pancasila di ruang-ruang publik.

Di tengah dunia yang kehilangan orientasi moral dan spiritual, Indonesia melalui Pancasila memiliki tanggung jawab historis dan etis untuk memperlihatkan bahwa ada cara lain membangun dunia yang tidak hanya maju, tetapi juga bijaksana.