Polemik Kunjungan Macron ke Borobudur: Mitos Kunto Bimo Kembali Mencuat

markdown Kunjungan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, ke Candi Borobudur bersama Presiden terpilih Prabowo Subianto baru-baru ini telah memicu perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Bukan hanya karena nilai sejarah dan keindahan arsitektur candi tersebut, tetapi juga karena kembali mencuatnya mitos Kunto Bimo yang selama ini berkembang di kalangan pengunjung.

Kontroversi bermula ketika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengungkapkan bahwa Presiden Macron sempat berupaya menyentuh patung Buddha yang berada di dalam salah satu stupa di bagian atas candi. Pengakuan ini segera memicu reaksi beragam, mengingat adanya larangan dan imbauan untuk tidak melakukan tindakan tersebut. Larangan ini bukan tanpa alasan, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya.

Mitos Kunto Bimo:

Mitos Kunto Bimo sendiri telah lama dikenal sebagai kepercayaan populer di kalangan pengunjung Candi Borobudur. Secara sederhana, mitos ini meyakini bahwa seseorang yang berhasil menyentuh bagian tubuh arca Buddha di dalam stupa berongga akan mendapatkan keberuntungan atau keinginannya akan terkabul. Praktiknya, pengunjung akan berusaha merogoh ke dalam stupa dan menyentuh bagian tubuh tertentu dari arca Buddha, seperti jari manis atau telapak kaki, tergantung pada jenis kelamin.

Asal-usul nama Kunto Bimo pun menarik untuk ditelusuri. Istilah "Kunto" diduga berasal dari bahasa Jawa "ngento-ento" yang berarti meminta atau mengharap. Sementara itu, "Bimo" merujuk pada tokoh Bima dalam wiracarita Mahabharata, yang dikenal dengan kekuatannya, keteguhan hatinya, dan semangat pantang menyerah. Dengan demikian, Kunto Bimo dapat diartikan sebagai semangat untuk terus berharap dan berusaha, meskipun hanya melalui tindakan simbolis menyentuh arca suci.

Larangan Menyentuh Stupa:

Terlepas dari kepercayaan yang melingkupinya, menyentuh arca Buddha di dalam stupa merupakan tindakan yang dilarang. Larangan ini didasarkan pada dua pertimbangan utama:

  • Nilai Sakral: Stupa dan arca Buddha merupakan objek sakral bagi umat Buddha. Menaiki stupa dan merogoh ke dalamnya untuk menyentuh arca dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas dan dapat merusak kesakralan tempat ibadah.
  • Konservasi: Stupa-stupa di Candi Borobudur telah berdiri selama berabad-abad dan merupakan bagian dari warisan budaya yang harus dilindungi. Tindakan menyentuh, apalagi memanjat stupa, dapat menyebabkan kerusakan pada struktur bangunan dan relief-relief yang ada.

Konservasi Candi Borobudur juga menghimbau bahwa stupa teras di Candi Borobudur telah dibangun sejak abad ke-8 masehi, atau sekitar 1200 tahun yang lalu. Stupa tersebut memiliki relief berupa bunga teratai. Sehingga, jika stupa dinaiki demi memegang arca Buddha di dalamnya berpotensi mengakibatkan kerusakan pada permukaan stupa.

Terlepas dari kontroversi yang muncul, kunjungan Presiden Macron ke Candi Borobudur diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia. Diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai budaya dan sejarah yang terkandung di dalam Candi Borobudur, sehingga kunjungan ke tempat ini dapat dilakukan dengan penuh hormat dan kesadaran.