Borobudur: Antara Mitos Kunto Bimo dan Konservasi Warisan Dunia

Candi Borobudur, mahakarya arsitektur yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia, menyimpan daya tarik tak hanya pada kemegahan bangunannya, tetapi juga pada cerita dan mitos yang menyelimutinya. Salah satu mitos yang cukup populer adalah mitos Kunto Bimo, sebuah kepercayaan yang mendorong sebagian pengunjung untuk merogoh stupa-stupa candi dengan harapan mendapatkan keberuntungan atau mengabulkan permohonan.

Asal Usul dan Makna Mitos Kunto Bimo

Candi Borobudur memiliki tiga barisan stupa melingkar di bagian Arupadhatu. Di dalam 72 stupa berongga tersebut terdapat arca Buddha yang duduk bersila. Mitos Kunto Bimo berkembang di masyarakat setempat, menyebutkan bahwa menyentuh bagian tubuh tertentu dari arca Buddha di dalam stupa dapat membawa keberuntungan atau mengabulkan keinginan. Bahkan, terdapat aturan tak tertulis mengenai bagian tubuh arca yang harus disentuh berdasarkan jenis kelamin: pria dianjurkan menyentuh jari manis atau kelingking, sementara wanita disarankan menyentuh telapak kaki, tumit, atau ibu jari kaki arca.

Secara etimologis, Kunto Bimo berasal dari bahasa Jawa. Kunto berarti “mengira-ngira” atau “permintaan”, sedangkan Bimo berarti “pantang menyerah”. Sehingga, mitos ini secara simbolis mengandung makna sebuah permohonan yang dipanjatkan dengan keyakinan dan ketekunan.

Pandangan Arkeolog dan Sejarahwan

Namun, mitos Kunto Bimo tidak memiliki dasar dalam ajaran Buddha. Arkeolog Soekmono, yang pernah memimpin pemugaran Candi Borobudur, berpendapat bahwa kepercayaan ini muncul sekitar tahun 1950-an. Menurutnya, mitos ini disebarkan oleh oknum petugas candi untuk menarik minat wisatawan dan meningkatkan pendapatan. Praktik seperti menaburkan bunga dan uang pada arca di dalam stupa menciptakan kesan mistis dan sakral.

Arkeolog asal Belanda, August Johan Bernet Kempers, juga menyinggung fenomena serupa dalam bukunya Ageless Borobudur. Ia mencatat bahwa perilaku mengistimewakan arca Buddha di bagian Arupadhatu tidak diketahui asal-usulnya secara pasti. Bahkan, penentuan bagian tubuh arca yang “harus” disentuh tampak dibuat spesifik, sehingga tidak semua pengunjung dapat melakukannya dengan mudah.

Dampak Mitos Terhadap Konservasi Candi

Aksi menyentuh arca Buddha di dalam stupa, meskipun terlihat sepele, berdampak serius bagi kelestarian Candi Borobudur. Kontak fisik langsung dengan arca dapat merusak struktur batuan kuno yang telah berusia lebih dari 1.200 tahun. Keringat dari tangan atau kaki wisatawan mengandung garam yang dapat merusak permukaan batuan. Kerusakan mikro ini, seiring waktu, dapat menyebabkan batu menjadi keropos dan mempercepat degradasi warisan budaya yang berharga ini.

Pengelola Candi Borobudur terus berupaya untuk meningkatkan kesadaran pengunjung mengenai pentingnya menjaga kelestarian candi. Edukasi mengenai sejarah, nilai budaya, dan risiko kerusakan akibat sentuhan fisik terus dilakukan. Diharapkan, dengan meningkatnya kesadaran, pengunjung dapat lebih bijak dalam berinteraksi dengan Candi Borobudur, menghargai nilai sejarah dan budayanya, serta turut serta dalam upaya pelestariannya.