Euforia Juara Berujung Jeruji: Dua Suporter Persib Didakwa atas Perusakan GBLA, Dedi Mulyadi Angkat Bicara

Dua suporter setia Persib Bandung kini harus berurusan dengan hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Bandung atas dugaan perusakan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Insiden ini terjadi pada 24 Mei 2025, di tengah gegap gempita perayaan kemenangan Persib dalam kompetisi Liga 1 2024-2025. Aksi yang disayangkan ini berupa pencabutan rumput dan pengambilan garis gawang stadion.

Kedua suporter tersebut dijerat dengan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang dan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang. Penetapan tersangka ini tak lepas dari perhatian Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang sebelumnya mengunggah video aksi suporter di media sosial, menyuarakan harapan agar mereka diproses hukum atau bahkan dimasukkan ke barak militer. Menurut Dedi Mulyadi, tindakan tersebut mencoreng citra suporter Persib.

Euforia dan Subkultur Suporter

Perusakan, dalam bentuk apapun, jelas tidak dapat dibenarkan menurut hukum. Namun, muncul pertanyaan: apakah tepat menjerat hukum suporter sepak bola yang euforianya dianggap berlebihan? Merujuk pada hukum positif, tindakan tersebut mungkin оправдан. Namun, jika kita melihat suporter sebagai bagian dari entitas sosial dengan subkultur tertentu, euforia berlebihan bukanlah fenomena baru. Contoh serupa pernah terjadi saat Persija Jakarta menjuarai liga, dengan aksi vandalisme terhadap bus Transjakarta.

Bahkan di Italia, ketika AS Roma meraih scudetto pada 2001, Romanisti (sebutan suporter AS Roma) melakukan aksi serupa, mencabut rumput dan mengambil garis gawang Stadion Olympico. Euforia berlebihan saat tim kesayangan juara adalah pemandangan umum di berbagai negara dengan budaya sepak bola yang kuat.

Albert Cohen (1955) menjelaskan subkultur sebagai kelompok budaya kecil dengan nilai-nilai yang mungkin bertentangan dengan budaya dominan. Suporter sepak bola adalah contoh kelompok budaya kecil yang terkadang memiliki nilai-nilai yang dianggap menyimpang oleh masyarakat umum. Contohnya, perilaku seperti berboncengan tiga tanpa helm, menaiki atap bus, atau bernyanyi-nyanyi di jalan saat menuju stadion mungkin dianggap melanggar norma oleh masyarakat luas, tetapi dianggap wajar oleh sebagian suporter.

Delik Aduan dan Pertanyaan Prosedur

Pasal 406 dan 170 KUHP merupakan delik aduan, yang berarti laporan seharusnya dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini, pemilik atau pengelola GBLA, yaitu Pemkot Bandung dan PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB). Muncul pertanyaan: atas dasar laporan siapa polisi menangkap kedua suporter tersebut? Apakah Pemkot Bandung atau PT PBB telah membuat laporan resmi? Gubernur Jawa Barat, meskipun memiliki perhatian terhadap isu ini, bukanlah pihak yang berhak melaporkan perusakan tersebut.

Penyidik perlu berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan prosedural dalam penetapan tersangka, karena hal ini dapat menjadi celah untuk gugatan praperadilan.

Pidana atau Restorative Justice?

Perusakan fasilitas umum tetap memerlukan tindakan, namun perlu dipertimbangkan pendekatan yang tepat. Memidanakan seseorang dengan hukuman penjara memiliki konsekuensi tersendiri. Penjara bukanlah solusi tunggal, dan bahkan dapat menjadi tempat transmisi budaya kriminal.

Perlu dipertimbangkan apakah kedua tersangka memiliki riwayat kriminal sebelumnya. Jika tidak, memenjarakan mereka berisiko membuat mereka terpapar nilai-nilai kriminal. Selain itu, pemidanaan juga membutuhkan anggaran yang signifikan.

Restorative justice dapat menjadi alternatif yang lebih baik. Ini bisa berupa penggantian kerugian yang telah dilakukan atau hukuman alternatif, seperti melakukan perawatan stadion setiap akhir pekan selama periode tertentu. PT PBB juga dapat mengajak suporter untuk kerja bakti memperbaiki stadion yang telah dirusak. Aksi ini dapat mempererat hubungan antara klub, suporter, dan stadion.

Dedi Mulyadi, dengan reputasinya sebagai pemimpin yang memberi contoh, dapat turut hadir dalam kerja bakti tersebut, meningkatkan citranya di mata suporter dan masyarakat luas. Langkah yang tepat terhadap perilaku suporter akan menciptakan suporter yang lebih baik, sementara langkah yang salah dapat menimbulkan masalah baru.