Jakarta: Industri Perhotelan Tergencet, Aset Hotel Diobral Akibat Penurunan Okupansi

Kondisi industri perhotelan di Jakarta saat ini berada dalam titik nadir, memaksa sejumlah pemilik hotel untuk mengambil langkah drastis, yaitu menjual aset mereka. Penurunan tingkat hunian yang signifikan menjadi penyebab utama merosotnya pendapatan, hingga akhirnya memaksa pemilik hotel untuk melepas properti mereka di pasaran.

Beberapa penawaran penjualan hotel di Jakarta terpantau melalui berbagai platform jual beli properti daring. Salah satu contohnya adalah sebuah hotel yang berlokasi strategis di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Hotel dengan 9 lantai dan 84 kamar ini ditawarkan dengan harga Rp 92 miliar. Dalam deskripsi penjualan tercantum bahwa harga tersebut telah mengalami penurunan dua kali dari harga awal Rp 103 miliar, dan masih membuka peluang negosiasi.

Fenomena penjualan hotel dengan harga di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) juga menjadi sorotan. Di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, sebuah hotel dengan 102 kamar dan 10 lantai termasuk basement, ditawarkan dengan harga Rp 60 miliar, jauh di bawah NJOP yang mencapai Rp 119 miliar.

Menurut Pengamat Properti Ferry Salanto, penurunan omzet hotel mencapai sekitar 30 persen dibandingkan tahun lalu. Penurunan ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Efisiensi Anggaran Pemerintah: Pengurangan anggaran pemerintah berdampak langsung pada penurunan permintaan layanan hotel, terutama dari sektor pemerintahan dan korporat.
  • Melemahnya Daya Beli Masyarakat: Turunnya daya beli masyarakat turut mempengaruhi permintaan akan akomodasi hotel.
  • Penurunan Jumlah Wisatawan: Berkurangnya jumlah wisatawan domestik dan mancanegara semakin memperburuk kondisi industri perhotelan.

Ferry Salanto menyarankan beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan oleh pemilik hotel untuk bertahan di tengah situasi sulit ini, antara lain:

  • Inovasi dan Adaptasi: Pengelola hotel harus memahami kebutuhan pasar saat ini, termasuk preferensi generasi baru yang mengutamakan efisiensi, pengalaman digital, dan fleksibilitas.
  • Alih Fungsi Bangunan: Jika terpaksa tutup, opsi alih fungsi bangunan menjadi apartemen, kantor, rumah sakit, pusat edukasi, atau bentuk komersial lainnya dapat dipertimbangkan, namun memerlukan analisis mendalam.
  • Revitalisasi Bangunan: Memperbarui dan meningkatkan kondisi fisik, operasional, atau citra hotel agar lebih kompetitif dan sesuai dengan tren pasar.
  • Efisiensi Biaya: Mengurangi biaya energi dan sumber daya manusia (SDM).
  • Diversifikasi Pendapatan: Mencari sumber pendapatan baru, seperti menyasar segmentasi wedding, MICE (meetings, incentives, conventions, and exhibitions) skala kecil, atau layanan co-working.
  • Peningkatan Efisiensi Layanan: Menerapkan sistem kerja bergilir dan mengadopsi teknologi digital, seperti sistem check-in mandiri dan otomatisasi layanan tamu.
  • Peningkatan Kualitas Layanan: Mempertahankan kualitas layanan agar tetap kompetitif meskipun dengan keterbatasan SDM.

Kondisi industri perhotelan di Jakarta saat ini memerlukan perhatian serius dan langkah-langkah strategis agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan perubahan pasar.