Transisi Energi Indonesia: Antara Ambisi EBT dan Realitas Ketergantungan Fosil

markdown

Menimbang RUPTL PLN: Realisme dalam Transisi Energi Nasional

Penerbitan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2035 telah memicu diskusi intensif mengenai arah transisi energi di Indonesia. Meskipun terdapat apresiasi terhadap peningkatan target energi baru terbarukan (EBT), rencana tersebut juga menuai kritik karena masih mengakomodasi penambahan kapasitas pembangkit fosil, khususnya batubara. Lantas, bagaimana seharusnya kita memandang RUPTL ini secara objektif?

Narasi ideal tentang transisi energi seringkali terjebak dalam keinginan untuk perubahan instan, mengabaikan kompleksitas teknis dan ekonomi yang melekat pada transformasi skala besar. Mencapai sistem energi 100% terbarukan bukanlah tujuan yang dapat dicapai dalam semalam. Fluktuasi pasokan dari sumber energi seperti tenaga surya dan angin memerlukan solusi penyimpanan energi yang canggih dan mahal. Pengembangan infrastruktur, seperti pumped hydro storage, membutuhkan waktu dan perencanaan yang matang.

Indonesia memiliki cadangan batubara yang signifikan, yang saat ini berperan penting dalam menjaga stabilitas pasokan listrik dan memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara. Menghentikan penggunaan batubara secara tiba-tiba akan menimbulkan risiko terhadap ketahanan energi nasional dan berdampak negatif pada perekonomian, terutama di daerah-daerah penghasil batubara.

Sumber energi terbarukan seringkali terletak jauh dari pusat-pusat потребления listrik, sehingga membutuhkan investasi besar dalam pembangunan jaringan transmisi. Meskipun ada komitmen pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), realisasinya dalam bentuk proyek konkret masih memerlukan upaya lebih lanjut. Memaksakan target EBT tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial dan ketersediaan pendanaan dapat membebani keuangan negara dan meningkatkan tarif listrik.

Keamanan Energi dan Pembelajaran dari Negara Lain

Dalam konteks geopolitik global yang tidak menentu, keamanan energi menjadi prioritas utama. Ketergantungan penuh pada EBT yang belum sepenuhnya matang dari segi teknologi dapat meningkatkan kerentanan pasokan energi jika terjadi gangguan pada rantai pasok. Selain itu, modernisasi jaringan listrik untuk mengakomodasi energi terbarukan membutuhkan investasi yang signifikan dan waktu implementasi yang realistis.

Pengalaman negara-negara lain dalam transisi energi memberikan pelajaran berharga. Jerman, meskipun memiliki teknologi dan kapasitas finansial yang kuat, mengalami lonjakan harga energi ketika memaksakan transisi terlalu cepat. Texas, Amerika Serikat, mengalami pemadaman massal akibat ketidakmampuan infrastruktur EBT menghadapi cuaca ekstrem. Sebaliknya, Denmark berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam EBT melalui pendekatan bertahap dan investasi berkelanjutan pada infrastruktur jaringan pintar.

RUPTL: Pragmatisme sebagai Kunci

RUPTL PLN 2025-2035 sebaiknya dipandang sebagai peta jalan transisi, bukan tujuan akhir. Dokumen ini menunjukkan arah menuju energi yang lebih bersih sambil tetap menjaga stabilitas dan keterjangkauan. Target peningkatan porsi EBT hingga lebih dari 50% pada 2040 adalah langkah maju yang signifikan.

Penambahan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sebesar 10,3 GW merupakan langkah strategis sebagai teknologi peralihan yang dapat memberikan fleksibilitas operasional untuk mengimbangi fluktuasi EBT. PLTG dapat diaktifkan dan dinonaktifkan dengan cepat, menjadikannya ideal sebagai cadangan untuk pembangkit terbarukan.

Prioritas utama dalam implementasi RUPTL harus mencakup:

  • Mempercepat pengembangan teknologi penyimpanan energi melalui kemitraan strategis.
  • Menarik investasi EBT melalui kebijakan insentif yang menarik.
  • Mengembangkan kerangka regulasi yang mendukung transisi yang adil dan inklusif.
  • Menerapkan strategi mengurangi emisi pembangkit fosil yang ada.
  • Mempercepat pembangunan infrastruktur transmisi dan smart grid.

Transisi energi adalah proses yang kompleks dan berkelanjutan. Mewujudkan sistem kelistrikan yang lebih bersih membutuhkan pendekatan menyeluruh, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga regulasi yang mendukung, tanpa mengorbankan ketahanan energi nasional. RUPTL PLN 2025-2035 dapat dilihat sebagai langkah realistis menuju transformasi energi yang lebih berkelanjutan, dengan kritik konstruktif sebagai bagian penting dari proses tersebut.