Evolusi Sistem Peradilan Jawa Kuno: Dari Prasasti Hingga Kitab Hukum Kerajaan

Sistem Hukum di Jawa Kuno: Studi Kasus dari Mataram Kuno hingga Majapahit

Sejarah peradaban Jawa Kuno (abad ke-8 hingga abad ke-15 Masehi) mencatat kemajuan signifikan dalam perkembangan sistem hukum di berbagai kerajaan yang berkuasa. Bukti-bukti mengenai keberadaan dan evolusi sistem hukum ini dapat ditemukan dalam berbagai prasasti dan kitab-kitab kuno, memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana hukum diterapkan dan ditegakkan pada masa itu.

Perkembangan Sistem Peradilan dari Masa ke Masa

Seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Titi Surti Nastiti, menjelaskan bahwa sistem hukum di Jawa Kuno mengalami transformasi yang berkelanjutan. Perubahan ini tercermin dalam prasasti-prasasti seperti Prasasti Guntur (907 Masehi) dari era Mataram Kuno, Prasasti Mula Malurung (1255 Masehi) dari Kerajaan Kadiri, serta kitab Nagarakertagama dari era Majapahit. Setiap kerajaan memberikan kontribusi pada penyempurnaan sistem hukum yang ada, dengan penambahan dan perombakan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Aparat Penegak Hukum dan Struktur Pengadilan

Pada masa Mataram Kuno, pejabat yang bertugas di pengadilan dikenal sebagai "Sang Pamgat," yang kemudian disingkat menjadi "samgat" atau "samget." Mereka bertugas mengadili berbagai perkara, baik pidana maupun perdata, seperti kasus kejahatan, perdagangan, jual beli, dan piutang.

Di era Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15), pejabat kehakiman disebut "sang pragwiwaka-wyawaharanyayanyayawicchedaka," sebagaimana tercantum dalam prasasti Sukamerta (1296 Masehi) dan prasasti Adan-adan (1301 Masehi). Jabatan ini merujuk pada hakim yang memiliki wewenang untuk membedakan antara yang benar dan yang salah dalam suatu persengketaan. Selain itu, terdapat pula "sang dharmmadhikarananyayanyawya-waharawicchedaka," yaitu pemimpin keagamaan yang berwenang memutuskan perselisihan berdasarkan hukum agama. Jabatan ini disebutkan dalam prasasti Tuhañaru (1323 Masehi). Pada masa itu, juga terdapat "sang dharmmaprawaktawyawaharawicchedaka," yang bertindak sebagai juru bicara dalam bidang keagamaan atau hukum, yang berwenang menyelesaikan sengketa. Jabatan ini tertuang dalam prasasti Canggu (1258 Masehi) dan prasasti Sekar (1366 Masehi).

Dari masa Kadiri hingga Majapahit, pejabat kehakiman dibagi menjadi dua kelompok utama: dharmmadhyaksa ring kasaiwan (pemimpin keagamaan dari agama Siwa) dan dharmmadhyaksa ring kasogatan (pemimpin keagamaan dari agama Buddha). Selain itu, terdapat dharmma upapatti, yang jumlahnya bervariasi dalam berbagai prasasti. Secara keseluruhan, terdapat sembilan orang dalam posisi ini, termasuk samgat i tiruan, samgat i ka??amuhi, samgat i manghuri, samgat i jamba, samgat i pañjang jiwa, samgat i pamwatan, samgat i tigangrat, samgat i kanuangan atuha, dan samgat i kauangan rarai.

Etika dan Proses Peradilan

Prasasti Bendosari dan Parung dari masa Majapahit menekankan bahwa para pejabat kehakiman tidak dapat serta-merta memutuskan suatu perkara. Mereka harus terlebih dahulu mempelajari kitab-kitab sastra dari India, peraturan daerah, hukum adat, serta pendapat para tetua. Kitab hukum kerajaan Majapahit, Kakawin Negarakertagama, juga mencatat bahwa Raja Hayam Wuruk berupaya keras menjadi raja yang bijaksana agar rakyatnya sejahtera. Dalam menjalankan fungsi peradilan, raja harus mengikuti aturan yang tercantum dalam kitab perundang-undangan Agama.

Contoh Kasus Hukum: Sengketa Utang di Desa Guntur

Salah satu contoh kasus hukum yang tercatat adalah sengketa utang penduduk Desa Guntur, Campa. Kasus ini terukir dalam prasasti Guntur (907 Masehi) dari era Mataram Kuno. Prasasti tersebut menceritakan tentang seorang pria bernama Sang Dharmma yang menagih utang Campa (yang telah meninggal dunia) kepada suaminya, Pu Tabwel. Sang Dharmma adalah saudara dari Campa, sementara Pu Tabwel dan Campa tidak memiliki anak. Perkara ini akhirnya dibawa ke pengadilan dan diadili oleh Samgat Pinapan Pa Guwul dan istrinya, Pu Gallam. Putusan pengadilan memenangkan Pu Tabwel, karena Sang Dharmma tidak hadir di pengadilan.

Hukuman pada Masa Jawa Kuno

Pada masa Majapahit, hukuman pidana badan atau penjara tidak dikenal. Perundang-undangan kerajaan Majapahit mengatur dua jenis hukuman utama: denda dan hukuman mati. Dalam kasus pencurian, pelaku dihukum membayar denda, bukan dipenjara. Hukuman mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan yang sangat berat.