Eksistensi Salak Condet: Kisah Para Penjaga 'Maskot' Jakarta di Tengah Modernisasi

Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang terus berkembang, tersembunyi sebuah oase hijau yang menyimpan jejak sejarah kota: Cagar Buah Condet. Di lahan seluas 3,5 hektar di Balekambang, Jakarta Timur, sekelompok individu berdedikasi menjaga kelestarian Salak Condet, buah yang dulunya menjadi ikon kota.

Argowisata Cagar Buah Condet bukan hanya sekadar kebun salak. Tempat ini adalah saksi bisu perjalanan Jakarta, menawarkan kontras yang menyegarkan dari beton dan gedung pencakar langit yang mendominasi lanskap kota. Di sinilah, di bawah naungan pohon-pohon salak, empat orang pekerja tanpa lelah merawat warisan berharga ini. Mereka adalah garda terdepan dalam upaya pelestarian Salak Condet, menghadapi berbagai tantangan di era modern.

Safrudin, koordinator Cagar Buah Condet, menjelaskan bahwa timnya terdiri dari dua tenaga teknis dan dua petugas keamanan. Setiap hari, mereka bekerja keras untuk memastikan Salak Condet tetap lestari. Saat tim dari salah satu media mengunjungi lokasi, terlihat beberapa pekerja sedang fokus pada pembibitan, sementara yang lain membersihkan dedaunan yang berguguran.

"Di sini ada 4 orang, yang garap teknis 2 sama keamanan 2. Kalau saya koordinator juga bagian teknis," kata Safrudin.

Lebih dari sekadar pekerjaan, bagi Safrudin, Cagar Buah Condet adalah tentang menjaga sejarah dan identitas lokal Jakarta. Ia dan rekan-rekannya bekerja tanpa banyak sorotan, namun mereka sadar betul bahwa tanpa upaya mereka, maskot Jakarta ini bisa saja punah.

"Iya misi utamanya melestarikan. Dulu kan orang Jakarta nanya, maskot DKI mana. Lah kan ada 2, elang sama salak. Karena elangnya punah tinggal salaknya. Nah gimana biar salaknya nggak punah, diambil alih Pemda buat dilestarikan," jelasnya.

Tantangan dan Harapan di Balik Gerbang Kebun

Penjualan Salak Condet saat ini tidak sebesar dulu. Hasil panen yang tidak sampai satu ton membuat penjualan terbatas di depan gerbang argowisata.

"Kalau sekarang-sekarang ini nggak bisa ke mana-mana, kita pasarin di depan aja di gerbang. Kalau kita jual di depan, orang tahu Salak Condet pasti mau pada mampir," kata Safrudin.

Masa kejayaan Salak Condet terjadi pada tahun 1980-an, ketika buah ini bisa ditemukan di berbagai pasar di Jakarta. Kini, berbagai kendala menghambat produktivitas, termasuk lahan yang terbatas dan praktik pemetikan ilegal oleh warga sekitar.

"Warga mampir sini bawa keresek gede ngambil. Kita udah ngelarang juga tetap aja diambil. Kalau nyicip satu apa dua gak masalah," jelasnya.

Selain itu, infrastruktur Cagar Buah Condet memerlukan perbaikan, seperti pagar yang jebol, yang memudahkan akses bagi orang-orang yang ingin memetik salak secara ilegal. Safrudin berharap Salak Condet dapat kembali berjaya. Ia menyadari bahwa hal ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, dan berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat turun tangan mencari solusi.

"Ya kita mah pekerja nggak ngatur. Kita mah ngikut Pemdanya aja. Tugas kita saat ini bagaimana merawat salak ini berbuah," imbuh dia.

Pengalaman Memetik Langsung di Kebun

Salah satu media berkesempatan mengunjungi Agrowisata Cagar Buah Condet. Setibanya di sana, pengunjung disambut dengan pemandangan pohon salak dan duku yang rimbun di lahan seluas 3,5 hektar. Safrudin, dengan pakaian serba hitam dan arit di tangan, menawarkan untuk berkeliling kebun dan mencari buah salak yang matang.

Salak Condet memiliki rasa yang unik, campuran manis, kecut, dan sedikit sepet. Daging buahnya tebal, berbeda dengan jenis salak lain.

"Iya sama ini, ada agak sepet kalau belum matang 100 persen itu tapi ya. Nih cobain aja. Manis, kecut, tebel juga ya, renyah," kata Safrudin setelah meminta media tersebut mencicipi salaknya di lokasi.