Ancaman Penutupan: Industri Perhotelan Jakarta Bergulat dengan Penurunan Okupansi
Industri perhotelan di Jakarta saat ini tengah menghadapi masa-masa sulit. Penurunan tingkat hunian yang drastis mengancam keberlangsungan bisnis banyak hotel, bahkan berpotensi menyebabkan penutupan permanen. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan dengan banyaknya properti hotel yang ditawarkan untuk dijual di pasar daring.
Pengamat properti, Ferry Salanto, mengungkapkan bahwa industri perhotelan di Jakarta sedang menghadapi tantangan yang signifikan. Penurunan tingkat hunian tetap terjadi meskipun ada momen-momen penting yang seharusnya dapat meningkatkan okupansi, seperti musim liburan dan penyelenggaraan konser besar. Penurunan omzet hotel rata-rata mencapai sekitar 30% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan penurunan ini antara lain:
- Efisiensi Anggaran Pemerintah: Pemangkasan anggaran pemerintah berdampak langsung pada permintaan layanan hotel, terutama dari sektor pemerintahan dan korporat.
- Penurunan Daya Beli Masyarakat: Melemahnya daya beli masyarakat turut berkontribusi pada penurunan permintaan hotel.
- Penurunan Jumlah Wisatawan: Jumlah wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Jakarta juga mengalami penurunan.
Kondisi ini memaksa banyak hotel untuk melakukan efisiensi operasional, termasuk pengurangan jumlah karyawan. Langkah-langkah efisiensi yang umum dilakukan antara lain pengurangan hari kerja karyawan dengan sistem rotasi dan penyesuaian gaji berdasarkan jumlah hari kerja efektif.
Tanpa strategi pemulihan yang tepat, industri perhotelan berisiko mengalami penurunan yang lebih dalam, bahkan ada potensi hotel tutup permanen. Hal ini dapat membawa dampak lanjutan, seperti penurunan pendapatan daerah, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan gangguan pada ekosistem ekonomi lainnya, termasuk UMKM, petani, perajin, hingga sektor transportasi dan pariwisata.
Upaya efisiensi biaya SDM juga menjadi langkah penting. Hotel-hotel melakukan pengurangan tenaga kerja. Pekerja harian lepas langsung diberhentikan atau dilakukan penjadwalan ulang, sehingga mereka hanya bekerja setengah bulan dengan gaji yang juga disesuaikan. Langkah ini memberikan ruang bertahan sementara, tekanan tetap tinggi terutama bagi hotel-hotel yang pembiayaannya bergantung pada pinjaman bank.
Berbeda dengan masa pandemi COVID-19, saat ini tidak ada kebijakan restrukturisasi kredit atau insentif dari pemerintah. Akibatnya, banyak pemilik hotel menghadapi kesulitan keuangan yang serius.
Ferry menekankan pentingnya kolaborasi antara pemilik hotel, pemerintah, dan lembaga keuangan untuk mencari solusi bersama. Negosiasi terbuka dan laporan keuangan yang transparan dapat menjadi landasan untuk mencari solusi bersama, misalnya melalui restrukturisasi kredit, keringanan bunga, atau skema investasi baru.
Strategi lain yang telah diupayakan oleh sejumlah hotel untuk bertahan meliputi:
- Mencari sumber pendapatan baru, seperti menyasar segmentasi wedding, MICE (meetings, incentives, conventions, and exhibitions) skala kecil, atau layanan co-working.
- Meningkatkan efisiensi layanan melalui sistem kerja bergilir.
- Mengadopsi teknologi digital, seperti sistem check-in mandiri dan otomatisasi layanan tamu.
- Meningkatkan kualitas layanan agar tetap kompetitif meski dengan keterbatasan SDM.
Pemilik hotel perlu mengambil langkah inovatif untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan lanskap bisnis, terutama karena bisnis saat ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan generasi baru yang mengutamakan efisiensi, pengalaman digital, dan fleksibilitas. Pengelola hotel harus memahami apa yang dicari oleh pasar saat ini, seperti mempertimbangkan perlu tidaknya ruang pertemuan besar atau justru lebih menyukai ruang serba guna yang lebih kecil dan multifungsi.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (PHRI DK Jakarta) juga menyampaikan kekhawatiran serupa terkait kondisi industri hotel dan restoran di Jakarta. Berdasarkan survei yang dilakukan pada April 2025, tercatat 96,7% hotel melaporkan penurunan tingkat hunian, dengan penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintahan akibat pengetatan anggaran.
Kontribusi wisatawan mancanegara terhadap kunjungan ke Jakarta masih tergolong sangat kecil, dengan rata-rata persentase kunjungan turis asing hanya mencapai 1,98% per tahun dari 2019 hingga 2023, masih kalah dengan wisatawan domestik.