Perpres Pelindungan Jaksa: Antara Jaminan Keamanan dan Potensi Impunitas

Kontroversi Perpres Pelindungan Jaksa: Mengurai Benang Kusut antara Keamanan dan Akuntabilitas

Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa, bertepatan dengan peringatan 27 tahun Reformasi, menuai sorotan tajam. Meskipun secara eksplisit bertujuan untuk menjamin keamanan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas, regulasi ini menyimpan potensi masalah yang perlu dikritisi.

Sejarah demokrasi mengajarkan bahwa perlindungan terhadap penegak hukum tidak boleh menjadi tameng bagi kekuasaan. Pemberian perlindungan khusus tanpa mekanisme pengawasan yang ketat dan partisipasi publik membuka celah lebar bagi impunitas. Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa Perpres ini hadir justru saat pemerintah tengah gencar mengonsolidasikan kekuatan di berbagai bidang?

Pertanyaan Seputar Urgensi dan Tujuan

Apakah perlindungan jaksa merupakan kebutuhan mendesak saat ini, atau respons terhadap meningkatnya tekanan politis dalam penanganan kasus-kasus besar seperti mega-korupsi di BUMN, kasus PT. Timah, penyerobotan lahan PT Duta Palma Group, dan kasus Sritex yang baru-baru ini diumumkan? Independensi aparat penegak hukum merupakan fondasi negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara wajib menjamin keamanan jaksa agar mereka dapat bekerja profesional tanpa takut ancaman fisik, intimidasi politik, atau tekanan ekonomi.

Data Komisi Kejaksaan RI menunjukkan peningkatan laporan dugaan intimidasi terhadap jaksa dalam lima tahun terakhir. Pada 2022, tercatat 189 kasus ancaman dan kekerasan terhadap jaksa yang menangani perkara korupsi, narkotika, dan pelanggaran HAM berat. Kasus terbunuhnya Jaksa Jamaluddin di Medan pada 2019 menjadi simbol rapuhnya perlindungan negara terhadap aparat penegak hukum. Intervensi politik dalam perkara besar juga memperkuat urgensi perlindungan struktural.

Namun, perlu diingat bahwa jaksa adalah bagian dari kekuasaan negara dengan fungsi strategis dalam proses penuntutan. Keberpihakan jaksa terhadap atau melawan kekuasaan menjadi indikator independensi institusi. Oleh karena itu, intervensi negara melalui "perlindungan" perlu dipertanyakan, siapa yang sebenarnya dilindungi: institusi hukum atau agenda kekuasaan?

Kontroversi Keterlibatan TNI dan Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan

Perpres ini memberikan kewenangan perlindungan kepada Polri dan bahkan TNI. Keterlibatan TNI, yang secara konstitusional adalah alat pertahanan negara, dalam urusan penegakan hukum sipil merupakan kemunduran reformasi dan supremasi sipil atas militer. Klausul karet dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c yang membuka pintu bagi "bentuk perlindungan lain sesuai kondisi strategis" tanpa definisi jelas, sangat rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik atau mengawasi masyarakat sipil yang mengawasi kinerja kejaksaan.

Ironi dalam Negara Hukum: Perlindungan Eksklusif vs. Perlindungan Pembela HAM

Salah satu titik lemah Perpres ini adalah eksklusivitas subjek yang dilindungi, yaitu hanya jaksa dan keluarganya. Padahal, negara seharusnya memprioritaskan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti pembela HAM, jurnalis, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat. Komnas HAM mencatat ribuan pengaduan pelanggaran HAM setiap tahunnya, yang seringkali melibatkan aktor negara sebagai pihak yang dilaporkan. Laporan KontraS tahun 2023 mencatat peningkatan ancaman, intimidasi, dan kekerasan terhadap aktivis yang memperjuangkan isu lingkungan, agraria, anti-korupsi, dan kebebasan sipil. Dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum justru diduga terlibat sebagai aktor represif.

Perpres yang secara khusus melindungi jaksa tanpa kebijakan paralel untuk melindungi pembela HAM dan warga sipil rentan menghadirkan ironi. Negara terkesan lebih sigap melindungi alat kekuasaannya daripada melindungi rakyat yang memperjuangkan keadilan.

Refleksi Reformasi: Konsolidasi Kekuasaan atau Penguatan Pengawasan?

Perpres ini justru memperlihatkan arah yang bertolak belakang dengan semangat Reformasi, yakni demokrasi yang bergeser menjadi instrumen konsolidasi kekuasaan, bukan penguatan institusi pengawas kekuasaan. Kejaksaan, sebagai pilar penting dalam mekanisme check and balance, seharusnya menjadi pengawal kepentingan umum dalam sistem peradilan pidana. Perlindungan khusus tanpa akuntabilitas yang seimbang menghadirkan kekuatan negara yang nyaris absolut tanpa pengimbang.

Sejarah mencatat, kejaksaan pernah menjadi instrumen kekuasaan untuk membungkam oposisi dan mengkriminalisasi aktivis. Kekuasaan yang terlalu terpusat tanpa mekanisme korektif memperbesar risiko penyalahgunaan, terutama mengingat kewenangan luas kejaksaan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM berat, dan penegakan hukum di sektor strategis negara.

Rekomendasi: Transparansi, Akuntabilitas, dan Perlindungan yang Inklusif

Alih-alih menolak total, Perpres ini sebaiknya dikoreksi dan diperkuat dalam dua hal: syarat dan mekanisme perlindungan harus transparan dan terbuka untuk pengawasan publik, serta perluasan skema perlindungan kepada seluruh aktor yang berisiko tinggi dalam memperjuangkan keadilan. Perlindungan hukum harus menjadi perwujudan negara hukum yang adil, bukan alat proteksi kekuasaan. Perlindungan terhadap jaksa hanya akan bernilai demokratis bila disertai penguatan sistem akuntabilitas, pengawasan publik, dan keberanian negara untuk juga melindungi rakyat yang memperjuangkan keadilan.