Mahasiswa Bojonegoro Tantang UU HPP di MK: Kenaikan PPN 12 Persen Ancam Hak Pendidikan
Mahasiswa Bojonegoro Gugat UU HPP di Mahkamah Konstitusi
Seorang mahasiswa asal Bojonegoro, Jawa Timur, Fauzan Hakimi, bersama enam pemohon lainnya mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 11/PUU-XXIII/2025 ini mempersoalkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang dinilai mengancam hak konstitusional mereka atas pendidikan.
Sidang perdana digelar pada Senin, 10 Maret 2025. Dalam permohonan yang diajukan, Fauzan, yang merupakan penerima beasiswa, menjelaskan bahwa kenaikan PPN berdampak signifikan terhadap pengeluaran bulanannya. Dengan biaya hidup yang sudah pas-pasan – Rp 600.000 untuk kost, Rp 600.000 untuk makan dan minum, serta Rp 200.000 untuk transportasi – total Rp 1.400.000 yang bersumber dari penghasilan orang tuanya yang hanya setara UMR Kabupaten Bojonegoro (Rp 2.300.000), kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN 12 persen mengancam keberlanjutan studinya. Situasi ini, menurut gugatan tersebut, berpotensi membuatnya putus kuliah.
Pemohon berpendapat bahwa penerapan PPN 12 persen secara langsung menghambat akses mereka pada pendidikan tinggi, hak konstitusional yang dijamin Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang signifikan akibat kenaikan PPN membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan. Mereka berargumen bahwa pemerintah seharusnya mempertimbangkan dampak sosial ekonomi, khususnya bagi kelompok rentan seperti mahasiswa, sebelum menerapkan kebijakan fiskal yang berdampak luas.
Poin-Poin Penting Gugatan
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk:
- Menyatakan ketentuan-ketentuan dalam UU HPP yang mengatur kenaikan PPN 12 persen bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
- Menyatakan Pasal 7 ayat (3) UU HPP konstitusional bersyarat, dengan syarat tarif PPN ditetapkan berdasarkan indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan yang jelas dan terukur.
- Menyatakan Pasal 7 ayat (4) UU HPP konstitusional bersyarat, dengan syarat perubahan tarif PPN hanya boleh dilakukan melalui undang-undang, bukan peraturan pemerintah.
Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka, paling lambat Senin, 24 Maret 2025.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyoroti dampak kebijakan fiskal terhadap kelompok rentan dan mempertanyakan apakah penerapan PPN 12 persen telah mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan hak konstitusional warga negara atas pendidikan. Hasil dari gugatan ini akan memiliki implikasi penting bagi kebijakan fiskal di Indonesia ke depannya.