Krisis Iklim dan KDRT: 55 Perempuan Pesisir Morodemak Pilih Bercerai Setelah Mengalami Kekerasan Rumah Tangga

Krisis Iklim, KDRT, dan Perjuangan Perempuan Pesisir Morodemak

Data mengungkap fakta pahit yang dialami perempuan pesisir di Morodemak, Demak, Jawa Tengah. Sejak tahun 2019 hingga Maret 2025, tercatat 90 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa mereka. Angka ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan adanya permasalahan sistemik yang perlu segera ditangani. Lebih memprihatinkan lagi, dari 90 kasus tersebut, sebanyak 55 perempuan memilih untuk mengakhiri pernikahan mereka, sebuah keputusan berat yang diambil setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Direktur LBH Apik Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, mengungkapkan bentuk kekerasan yang dialami beragam, meliputi kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran ekonomi. Hal ini menunjukkan kompleksitas masalah KDRT yang tidak hanya berfokus pada satu jenis kekerasan, melainkan perpaduan yang saling menguatkan dan memperburuk kondisi korban.

Dampak Krisis Iklim dan Kemiskinan

Faktor utama yang melatarbelakangi tingginya angka KDRT di wilayah pesisir Morodemak adalah krisis iklim dan dampaknya terhadap perekonomian keluarga. Penurunan hasil tangkapan ikan memaksa para nelayan, yang umumnya merupakan kepala keluarga, untuk beralih profesi ke sektor lain, seringkali dengan penghasilan yang jauh lebih rendah. Kondisi ini menciptakan tekanan ekonomi yang signifikan, mengakibatkan peningkatan utang, dan akhirnya bermuara pada peningkatan konflik dan kekerasan dalam rumah tangga. Banyak suami yang kehilangan pekerjaan atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), semakin menambah beban ekonomi keluarga dan memicu kemarahan yang dilampiaskan pada istri. Kondisi ini diperparah oleh kesulitan akses terhadap sumber daya ekonomi dan kesempatan kerja alternatif yang terbatas di wilayah pesisir. Berbagai faktor tersebut menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus, memperparah dampak krisis iklim dan menyuburkan budaya kekerasan dalam rumah tangga.

Budaya Patriarki dan Stigma Sosial

Lebih lanjut, Ayu Hermawati juga menyoroti peran budaya patriarki dan stigma sosial yang menghambat para korban untuk keluar dari situasi kekerasan. Beberapa korban, bahkan, terpaksa bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan selama lebih dari satu dekade karena tekanan sosial, norma agama yang salah diinterpretasi, dan rasa takut untuk menghadapi stigma masyarakat. Ada kasus korban yang bertahan hingga 12 tahun sebelum akhirnya memutuskan bercerai, karena keselamatan jiwanya benar-benar terancam. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya peran edukasi dan advokasi untuk memberdayakan perempuan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap KDRT.

Upaya Pemberdayaan Ekonomi

Setelah berhasil keluar dari hubungan KDRT, para perempuan ini membutuhkan bantuan untuk membangun kembali kehidupan mereka. LBH Apik bekerja sama dengan LSM Puspita Bahari untuk memberdayakan para korban secara ekonomi. Mereka mendapatkan pelatihan untuk mengolah produk pangan dan memasarkannya. Hasilnya cukup menggembirakan. Para perempuan kini memiliki penghasilan sendiri, rata-rata Rp100.000 hingga Rp160.000 per hari. Kolaborasi ini menunjukkan pentingnya pendekatan holistik dalam penanganan KDRT, yang tidak hanya fokus pada aspek hukum dan advokasi, tetapi juga pada pemulihan ekonomi dan pemberdayaan korban.

Kesimpulannya, permasalahan KDRT di Morodemak merupakan isu kompleks yang terkait erat dengan krisis iklim, kemiskinan, budaya patriarki, dan terbatasnya akses terhadap keadilan. Penanganan masalah ini membutuhkan pendekatan multisektoral yang melibatkan pemerintah, LSM, dan masyarakat, dengan fokus pada pencegahan, perlindungan korban, dan pemulihan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi menjadi kunci penting bagi perempuan korban untuk dapat lepas dari siklus kekerasan dan membangun kehidupan yang lebih mandiri dan bermartabat.