SE Menaker Larang Penahanan Ijazah: Perlindungan Pekerja atau Sekadar Simbol?
Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tentang Larangan Penahanan Ijazah: Analisis Mendalam
Menteri Ketenagakerjaan baru-baru ini menerbitkan Surat Edaran (SE) yang melarang perusahaan menahan ijazah atau dokumen pribadi karyawan. SE ini, yang secara eksplisit melarang perusahaan untuk menahan dokumen-dokumen penting seperti ijazah, sertifikat kompetensi, akta kelahiran, paspor, buku nikah, dan bahkan BPKB kendaraan sebagai syarat kerja, telah memicu perdebatan di berbagai kalangan.
Larangan ini muncul sebagai respons terhadap praktik penahanan ijazah yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Kritikus berpendapat bahwa praktik ini membatasi kemampuan pekerja untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan membuka pintu bagi tindakan sewenang-wenang oleh perusahaan. Penahanan ijazah seringkali membuat pekerja merasa terikat dan tidak berdaya dalam melakukan negosiasi terkait gaji, hak, dan kepentingan mereka.
Implikasi Hukum dan Praktis
Menurut pandangan hukum, penahanan ijazah dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak warga negara untuk memilih pekerjaan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945. Praktik ini tidak hanya merampas kesempatan pekerja untuk meningkatkan karir mereka, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan kekuatan antara pekerja dan pemberi kerja.
Dalam konteks hubungan industrial, hukum ketenagakerjaan mengakui adanya posisi yang tidak setara antara pekerja dan pemberi kerja. Oleh karena itu, hukum hadir untuk melindungi pekerja dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh perusahaan. Surat Edaran ini, setidaknya, merupakan langkah awal untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan pekerja.
Kebutuhan akan Regulasi yang Lebih Kuat
Namun, muncul pertanyaan apakah Surat Edaran ini cukup efektif untuk mengatasi masalah penahanan ijazah secara komprehensif. Surat Edaran, dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang atau peraturan menteri. Surat Edaran lebih bersifat instruktif dan mengikat secara internal dalam suatu instansi pemerintahan.
Idealnya, pemerintah perlu mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang secara eksplisit melarang praktik penahanan ijazah dan memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar. Langkah ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dan mencegah interpretasi yang berbeda-beda.
Peluang dalam UU Ketenagakerjaan yang Baru
Selain itu, Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru. Ini adalah momentum yang tepat untuk memasukkan larangan penahanan ijazah ke dalam undang-undang. Undang-undang memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dan dapat memuat sanksi pidana bagi pelanggar.
Dengan adanya undang-undang yang melarang penahanan ijazah, pemerintah akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengatur lebih lanjut melalui peraturan di bawahnya, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri. Selain itu, undang-undang ini dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah yang relevan.
Langkah Strategis atau Sekadar Simbol?
Penerbitan Surat Edaran ini patut diapresiasi sebagai respons cepat pemerintah terhadap masalah penahanan ijazah. Namun, untuk memastikan perlindungan yang efektif bagi pekerja, pemerintah perlu segera memperkuat dasar hukum larangan ini melalui peraturan yang lebih tinggi, seperti peraturan menteri atau undang-undang.
Publik juga memiliki peran penting dalam mengawal keberlanjutan upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan pengawasan dan dukungan publik, diharapkan larangan penahanan ijazah dapat benar-benar ditegakkan dan pekerja dapat terlindungi dari praktik yang merugikan.