Menghadapi Tumpukan Sampah Karbon Raksasa: Mungkinkah Solusi Teknologi Menjadi Kunci?

Krisis Iklim dan Tumpukan 'Sampah Karbon': Urgensi Penanganan Emisi Gas Rumah Kaca

Alih-alih berbicara tentang emisi gas rumah kaca (GRK), mari kita gunakan istilah "sampah karbon" untuk menggambarkan dampak dari setiap aktivitas manusia, mulai dari individu hingga korporasi dan negara, yang berkontribusi pada penumpukan gas-gas seperti CO2, N2O, dan CH4 di atmosfer. Istilah ini mencakup segala aktivitas yang memindahkan materi dari bumi ke atmosfer, melampaui gaya gravitasi.

GRK pada awalnya menyelamatkan bumi dari suhu ekstrem dingin, namun akumulasi masif akibat aktivitas manusia telah mengubahnya menjadi "racun" yang memicu pemanasan global. Sebagai contoh, pada tahun 2024, sekitar 6,7 juta hektar hutan hujan tropis lenyap akibat ulah manusia. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan karbon dioksida (CO2) hilang, menyebabkan lonjakan tajam akumulasi GRK di atmosfer. Setiap hektar hutan mampu menyimpan setidaknya 50 ton CO2 sepanjang siklus hidupnya.

Data Global Carbon Budget menunjukkan bahwa emisi CO2, atau "sampah karbon", melonjak satu miliar ton menjadi 41,6 miliar ton pada tahun 2024. Badan Energi Internasional (IEA) mencatat bahwa sektor energi menyumbang 37,8 Gt atau 37,8 miliar ton CO2. Akibatnya, konsentrasi CO2 di atmosfer meroket menjadi 422,5 ppm, 50 persen lebih tinggi dari tingkat pra-revolusi industri. Lonjakan suhu bumi rata-rata di atas 1,5 derajat Celcius, melampaui batas toleransi yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015, menjadi konsekuensi logis dari penumpukan GRK ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti bahwa kerusakan lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, gangguan ekonomi, konflik, dan terorisme merupakan ancaman nyata akibat pemanasan global. Gelombang panas, kekeringan, topan, dan badai melanda seluruh benua, menyebabkan kerusakan massal dan kerugian ekonomi kolosal, mencapai 520 miliar dolar AS per tahun, serta menjerumuskan 26 juta orang ke dalam kemiskinan.

Bayangkan dampak kenaikan suhu rata-rata 1,5 derajat Celcius, di mana beberapa kota di dunia telah mengalami suhu ekstrem di atas 40 derajat Celcius. Perlombaan menahan suhu bumi agar tidak terus meningkat adalah tugas peradaban manusia untuk keberlanjutan dan eksistensi spesies kita. Perjanjian Paris 2015 adalah pertaruhan untuk menghindari kepunahan akibat pemanasan global dan krisis iklim.

Solusi: Dekarbonisasi, Energi Terbarukan, dan Teknologi Penghapusan Karbon

Program Lingkungan PBB (UNEP) menyerukan tindakan nyata dan ambisius untuk menurunkan emisi GRK. Negara-negara perlu melihat kembali target penurunan emisi mereka dan memastikan komitmen pendanaan yang signifikan untuk mitigasi dan aksi iklim, terutama dari negara-negara maju. UNEP menawarkan tiga skenario: membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius, berjuang untuk beradaptasi dengan 2 derajat Celcius, atau menghadapi konsekuensi bencana pada 2,6 derajat Celcius dan seterusnya. Target menuju nol emisi di tahun 2050 harus dipenuhi dengan mengurangi "sampah karbon" di atmosfer secara reguler dan berkelanjutan, yaitu sebesar 42 persen di tahun 2030 dan 57 persen di tahun 2035.

Penurunan "sampah karbon" dapat dicapai melalui dekarbonisasi di semua sektor, transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, penggantian kendaraan konvensional dengan kendaraan listrik, dan reboisasi. Namun, upaya ini tidaklah cukup. "Carbondioxide removal" (CDR) atau penghapusan karbondioksida menjadi penting untuk menghilangkan CO2 yang sudah lama berada di atmosfer.

Pendekatan CDR meliputi:

  • Penangkapan udara langsung yang digabungkan dengan penyimpanan tahan lama.
  • Penyerapan karbon tanah.
  • Penghapusan dan penyimpanan karbon biomassa.
  • Mineralisasi yang ditingkatkan.
  • CDR berbasis laut.
  • Penghijauan.

Biochar, yang dihasilkan dengan memanaskan biomassa pada suhu tinggi dalam lingkungan oksigen terbatas, adalah contoh teknologi yang menjanjikan. Struktur berpori biochar dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan retensi air dan nutrisi, meningkatkan aktivitas mikroba, serta meningkatkan penumpukan karbon organik tanah. Bahkan, biochar diklaim dapat meningkatkan hasil panen.

Jika teknologi biochar diterapkan di sektor pertanian dan kehutanan, yang menyumbang sekitar 13 persen dari total sampah karbon Indonesia, negara ini dapat mencapai target nol emisi di tahun 2060. Ini adalah pendekatan berbasis teknologi yang layak dicoba.

Panel antarpemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) mengingatkan bahwa dunia perlu menghilangkan 6-10 miliar ton CO2 setiap tahun untuk mencapai nol emisi tahun 2050. Kapasitas CDR dunia saat ini, sebagian besar cara alami, hanya dua miliar ton CO2. Oleh karena itu, teknologi penghapusan karbon memegang peranan penting, dan harus terus dikembangkan agar mumpuni secara manfaat, efisien, murah, dan sederhana.

Cara-cara alami dan pendekatan berbasis teknologi adalah dua sisi mata uang yang sama dalam upaya menurunkan atau menghapus sampah karbon di atmosfer. Perusahaan negara dan swasta di sektor pertanian dan kehutanan perlu bertanggung jawab atas sampah karbon yang dihasilkan dari aktivitas mereka, selain mengejar keuntungan ekonomi.