Waduk Saguling Memisahkan Asa: Siswa Karanganyar Bertaruh Nyawa Demi Pendidikan Akibat Ketiadaan Jembatan
Di pelosok Desa Karanganyar, Kabupaten Bandung Barat, asa pendidikan dan aksesibilitas pelayanan publik terbentang di seberang Waduk Saguling. Bagi para pelajar Sekolah Dasar (SD), memulai hari berarti mempertaruhkan keselamatan diri, mengarungi waduk dengan rakit sederhana, demi meraih ilmu.
Ketiadaan jembatan penghubung memaksa warga, khususnya anak-anak sekolah, memilih antara dua opsi sulit: menyeberangi waduk dengan rakit seadanya atau menempuh perjalanan darat sejauh 20 kilometer yang memakan waktu hingga dua jam. Kepala Desa Karanganyar, Asep Hermawan, mengungkapkan bahwa dengan adanya jembatan, waktu tempuh warga akan terpangkas drastis menjadi hanya 10 hingga 30 menit. Saat ini, siswa yang bersekolah di SDN Panaruban atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Dusun 2 dan 4 harus mengandalkan rakit sebagai satu-satunya moda transportasi.
Ironisnya, jarak antara dusun tempat tinggal dan sekolah hanya sekitar 120 meter. Namun, tanpa jembatan, warga terpaksa memutar jauh. Tidak hanya anak-anak sekolah, ibu hamil dan warga yang membutuhkan layanan administrasi seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) juga bergantung pada rakit atau perahu getek yang keberadaannya tidak selalu terjamin. Asep Saepuloh, seorang warga Dusun 01, menuturkan bahwa rakit biasanya beroperasi pada pukul 07.00 WIB dan digunakan untuk berbagai keperluan, sehingga siswa seringkali harus menunggu giliran.
Ongkos penyeberangan rakit pun tidak murah, mencapai Rp 50.000 untuk satu kali perjalanan pulang-pergi. Biaya ini menjadi beban tersendiri bagi warga, terutama mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Selain itu, akses terhadap layanan administratif juga menjadi terhambat. Pembuatan Kartu Keluarga (KK) atau KTP yang seharusnya mudah, menjadi tantangan besar karena jauhnya akses alternatif. Warga berharap dengan adanya jembatan, mereka dapat berjalan kaki menuju pusat desa.
Pemerintah Desa Karanganyar telah berupaya mengajukan permohonan pembangunan jembatan kepada berbagai pihak. Sejak tahun 2014, permohonan telah diajukan sebanyak tiga kali kepada PT PLN Indonesia Power, namun belum mendapatkan respons yang memuaskan. Permohonan kepada Pemerintah Kabupaten Bandung Barat hanya berbuah saran, sementara pengajuan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum sempat dilakukan.
Hambatan pembangunan jembatan bukan hanya masalah anggaran. Waduk Saguling merupakan bagian dari sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dikelola oleh PT PLN Indonesia Power. Pembangunan infrastruktur di area tersebut memerlukan perizinan dari berbagai lembaga, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), serta kajian teknis yang mendalam seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan kelayakan konstruksi.
Aspek keselamatan juga menjadi prioritas utama. Kesalahan dalam perhitungan dapat berdampak besar pada operasional PLTA. Kepala Desa Karanganyar, Asep Hermawan, menyayangkan ketidakjelasan dan lambatnya respons dari pihak-pihak berwenang sebagai hambatan terbesar dalam mewujudkan impian warga.
Di tengah ketidakpastian, kebutuhan warga terus mendesak. Tanpa adanya kejelasan dan terobosan nyata dari para pemangku kepentingan, impian warga Karanganyar untuk memiliki jembatan penghubung antardusun hanya akan menjadi angan-angan yang tak kunjung terwujud. Sementara itu, rakit tetap menjadi andalan setiap pagi, mengangkut mimpi anak-anak untuk bersekolah dan harapan orang tua akan kehidupan yang lebih baik – semua itu tergantung pada tali dan drum plastik di tengah waduk yang menyimpan tantangan.