Generasi Muda Pedesaan: Antara Keterbatasan Lahan dan Impian Masa Depan

Dilema masa depan menghantui generasi muda di pedesaan, sebuah ironi di tengah perubahan lanskap yang pesat. Indah, seorang gadis berusia 18 tahun, menjadi potret nyata perjuangan ini. Setiap pagi buta, ia bergegas menumpang bus perusahaan untuk menuju sebuah pabrik pengolahan udang di pinggiran Kota Makassar. Jarak tempuh yang memakan waktu lebih dari satu jam dari desanya di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menjadi rutinitasnya sebagai buruh kasar, sebuah pekerjaan yang banyak digeluti oleh pemuda-pemudi di desanya.

Ironisnya, meskipun tinggal di desa, Indah tidak memiliki sepetak tanah pun untuk diolah. Gelombang urbanisasi, aktivitas pertambangan, ekspansi komoditas, dan pembangunan infrastruktur telah mengubah wajah pedesaan, menggusur lahan pertanian yang dulunya menjadi sumber kehidupan. Akibatnya, hanya segelintir orang di Maros yang mampu bertahan hidup dari hasil bertani. Pilihan pekerjaan di luar sektor pertanian pun sangat terbatas dan kurang menjanjikan. Kisah Indah adalah cerminan kehidupan banyak pemuda pedesaan di Indonesia, yang terjebak dalam dilema mencari nafkah di tengah semakin hilangnya harapan pada sektor pertanian.

Studi lapangan yang dilakukan di empat desa di Kabupaten Maros mengungkap cerita serupa. Generasi muda menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan impian mereka di tengah keterbatasan yang ada. Perubahan agraria dan ekonomi yang pesat telah mengubah lanskap Kabupaten Maros dalam beberapa dekade terakhir. Pembentukan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung membatasi akses masyarakat lokal terhadap hutan kemiri, yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan utama mereka. Alih fungsi sawah menjadi tambak udang pada era 1990-an juga menyebabkan penurunan kesuburan tanah, memaksa masyarakat untuk bergantung pada komoditas yang tidak stabil.

Perubahan ini, ditambah dengan ekspansi pertambangan, pembangunan rel kereta api, pabrik, dan perumahan di atas lahan pertanian produktif, telah mengubah pandangan generasi muda di pedesaan Maros terhadap mata pencaharian berbasis lahan. Mereka kini beralih mencari peluang di sektor ritel, manufaktur di perkotaan, atau bahkan merantau ke pulau lain. Kondisi ini mendorong generasi muda untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin sebagai jalan menuju pekerjaan "modern" di luar sektor pertanian. Setidaknya, mereka berupaya menamatkan pendidikan menengah atas agar dapat bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pelayan toko, atau pekerjaan lainnya.

Namun, ijazah pendidikan tidak selalu menjamin kesuksesan dalam mencari pekerjaan. Pasar kerja saat ini seringkali tidak ramah terhadap lulusan muda yang belum memiliki pengalaman kerja. Akibatnya, banyak pemuda yang terpaksa bekerja serabutan atau mencari cara lain untuk mendapatkan penghasilan, seperti membuka usaha sendiri atau bahkan merantau ke kota atau luar negeri. Salah satu pilihan yang banyak diambil oleh pemuda pedesaan, terutama mereka yang tidak memiliki lahan atau pendidikan tinggi, adalah menjadi buruh pabrik di kawasan industri Makassar.

Perempuan muda biasanya dijemput bus perusahaan dari desa pada pukul 6 pagi dan menempuh perjalanan lebih dari satu jam ke pabrik. Sebagai buruh, mereka bekerja mengolah udang dari pukul 8 pagi hingga 5 sore, bahkan kadang-kadang lembur hingga pukul 10 malam. Meskipun pekerjaan ini terbilang stabil, status mereka sebagai buruh tanpa kontrak formal membuat mereka sangat rentan. Sebagian pemuda pedesaan Maros juga memilih untuk merantau demi menggapai harapan hidup yang lebih baik. Mereka berpindah-pindah antara kota atau luar negeri untuk bekerja, kemudian kembali ke kampung halaman, dan pergi lagi, begitu seterusnya.

Perempuan muda umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi dan Malaysia, atau pulang-pergi ke pabrik-pabrik di kawasan industri Makassar. Sementara laki-laki kebanyakan bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit, proyek pembukaan lahan, konstruksi, atau proyek transportasi di berbagai wilayah, mulai dari Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan, hingga Malaysia. Ada juga yang merantau lebih dekat, seperti ke kota Maros atau Makassar, untuk bekerja serabutan, menjadi sopir, atau montir. Selain bekerja, ada juga pemuda Maros yang merantau untuk melanjutkan pendidikan.

Di sisi lain, banyak pemuda yang mencoba peruntungan dengan membuka usaha sendiri, seperti bengkel kecil-kecilan, kedai pakaian, jualan online, atau mengembangkan potensi wisata desa. Generasi muda pedesaan di Indonesia bukanlah kelompok yang malas atau enggan mengenyam pendidikan tinggi. Kondisi sosial dan ekonomi seringkali membatasi pilihan mereka, seperti masalah akses terhadap lahan atau keterbatasan biaya untuk kuliah. Namun, di tengah berbagai keterbatasan tersebut, mereka terus menyalakan harapan dan beradaptasi dengan realitas. Mereka tidak pasif, tetapi berusaha mengejar masa depan yang lebih baik, baik dengan merantau maupun berwirausaha.

Kisah harapan pemuda desa di Sulawesi Selatan memberikan pelajaran penting bahwa pembangunan desa tidak cukup hanya berupa infrastruktur. Kita perlu memahami bagaimana pemuda memaknai masa depan dan mendukung pilihan mereka, termasuk bagi mereka yang ingin tetap tinggal di desa. Pemerintah dapat mendorong pemuda untuk kembali atau tetap tinggal di pedesaan sebagai bagian dari kebijakan revitalisasi pedesaan. Bersamaan dengan itu, peningkatan pendidikan, kesempatan kerja, dan layanan sosial di daerah pedesaan menjadi sangat penting agar daerah tersebut lebih menarik bagi generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa pemuda masih tertarik untuk bertani, tetapi mereka membutuhkan akses terhadap lahan pertanian dan modal yang memadai. Jika kita sungguh ingin menjadikan desa sebagai tempat hidup yang layak, pemerintah harus memfasilitasinya. Suara dan harapan masa depan mereka layak didengar, bukan dikasihani.

  • Research fellow, Crawford School of Public Policy, Australian National University
  • Ketua Forest and Society Research Group of Universitas Hasanuddin, Universitas Hasanuddin
  • Associate Editor-in-Chief, Forest and Society, Universitas Hasanuddin
  • Senior Fellow, Development Geography, The University of Melbourne