Pernikahan Anak di Lombok Jadi Sorotan: Dampak Psikologis Mengintai

Pernikahan Anak di Lombok: Ancaman Dampak Psikologis

Fenomena pernikahan anak kembali mencuat ke permukaan, kali ini terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan menuai perhatian luas. Viral di media sosial, pernikahan antara SR (17) dan SMY (14) memicu kekhawatiran akan dampak psikologis yang mungkin timbul pada kedua mempelai.

Kabar pernikahan adat ini, yang belum tercatat secara resmi, telah dilaporkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram ke pihak berwajib. Psikolog klinis, Anastasia Sari Dewi, angkat bicara mengenai potensi dampak psikologis yang dapat menghantui pasangan yang menikah di usia dini.

Menurut Sari Dewi, anak-anak yang terpaksa memasuki gerbang pernikahan di usia muda berpotensi mengalami:

  • Kebingungan dalam mengelola tugas-tugas rumah tangga.
  • Ketidakmampuan dalam menyelesaikan konflik perkawinan.
  • Kesulitan dalam menentukan budaya keluarga yang ideal.

Secara psikologis, remaja belum memiliki kemampuan analitis yang matang. Keterbatasan dalam mengambil keputusan logis dan kepribadian yang belum sepenuhnya terbentuk dapat memicu konflik dan ketegangan dalam hubungan rumah tangga. Campur tangan orang tua pun menjadi tak terhindarkan, yang justru dapat memperburuk situasi.

Tekanan stres yang berlebihan juga menjadi ancaman serius. Tanggung jawab pernikahan membutuhkan kemandirian psikologis, finansial, dan kemampuan problem-solving. Kemampuan-kemampuan ini umumnya belum dimiliki oleh anak-anak, sehingga beban pernikahan dapat menjadi terlalu berat untuk dipikul.

Komunikasi yang efektif antara pasangan juga menjadi tantangan tersendiri. Kebingungan tentang benar dan salah, serta pengaruh hormon yang masih bergejolak, dapat menghambat kemampuan untuk berkomunikasi dengan tenang, berpikir kritis, dan logis.

Lebih lanjut, Sari Dewi menyoroti risiko yang muncul jika pasangan di bawah umur ini memutuskan untuk memiliki anak. Kesiapan mental dan emosional yang belum matang dapat mempengaruhi cara mereka mengasuh, merawat, dan mendidik anak. Stres yang belum mampu mereka kelola pada usia tersebut dapat berdampak negatif pada perkembangan anak.

Dengan demikian, pernikahan anak bukan hanya persoalan pelanggaran hak anak, tetapi juga menyimpan potensi masalah psikologis yang serius bagi kedua mempelai dan generasi penerus.