Polda Jabar Belum Terima Laporan Dugaan Korupsi Baznas yang Diungkap Eks Karyawan
Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) menyatakan belum menerima laporan resmi terkait dugaan praktik korupsi di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jawa Barat. Informasi ini muncul setelah seorang mantan pegawai Baznas Jabar, yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, melaporkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi kepada berbagai pihak.
LBH Bandung mengklaim bahwa klien mereka, TY, telah melaporkan dugaan korupsi tersebut kepada pengawas internal Baznas RI, Inspektorat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta aparat penegak hukum. Dugaan korupsi yang dilaporkan meliputi dana zakat senilai Rp 9,8 miliar dan dana hibah dari APBD Pemprov Jabar sebesar Rp 3,5 miliar.
Menanggapi klaim tersebut, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan, menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada laporan resmi yang masuk ke Polda Jabar terkait kasus ini. "Sampai saat ini belum ada laporan resminya," ujar Kombes Pol. Hendra Rochmawan. Ia juga menantang pihak pelapor untuk menunjukkan bukti jika memang telah melaporkan kasus ini secara resmi.
LBH Bandung juga menuding adanya upaya kriminalisasi terhadap TY setelah yang bersangkutan membongkar dugaan korupsi tersebut. Namun, Kombes Pol. Hendra Rochmawan menyatakan bahwa tudingan tersebut adalah bagian dari pembelaan hukum yang sah. Ia menjelaskan bahwa penetapan TY sebagai tersangka berawal dari laporan terkait dugaan akses ilegal dan penyebaran dokumen elektronik milik Baznas Jabar yang bersifat rahasia.
Menurut Kombes Pol. Hendra Rochmawan, TY diduga memanfaatkan akses terhadap perangkat kerja Baznas sebelum yang bersangkutan diberhentikan secara resmi pada 21 Januari 2023. Dokumen-dokumen yang diakses dan disebarkan termasuk dalam klasifikasi informasi yang dikecualikan, berdasarkan Surat Keputusan Ketua Baznas Jabar Nomor 93 Tahun 2022 tentang Penetapan Klasifikasi Informasi.
Polisi telah menyita sejumlah barang bukti, termasuk sebuah laptop MacBook Pro 13 inci tahun 2017 dan printer Epson L360, yang diduga digunakan untuk memindahkan data dari perangkat institusi ke perangkat pribadi. Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, TY tidak ditahan dan tetap memiliki hak untuk membela diri dalam proses hukum yang berlaku.
Atas perbuatannya, TY dijerat dengan Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.