Banjir Kota Jambi: Aktivitas Warga Terganggu, Sekolah Dipaksa Lewat Perairan

Banjir Kota Jambi: Aktivitas Warga Terganggu, Sekolah Dipaksa Lewat Perairan

Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kota Jambi telah memaksa warga untuk mengubah rutinitas sehari-hari. Tingginya permukaan air Sungai Batanghari, yang mencapai 14,58 meter dan berstatus siaga dua menurut Kepala Damkartan Kota Jambi, Mustari Affandi, telah merendam permukiman penduduk, menyulitkan akses jalan, dan mengubah cara warga beraktivitas, termasuk pergi ke sekolah.

Selama dua pekan terakhir, pemandangan warga Kota Jambi yang menggunakan perahu untuk beraktivitas telah menjadi hal yang lumrah. Kaisha, seorang siswi di RT 31, Kelurahan Legok, Kecamatan Telanaipura, menuturkan pengalamannya berangkat sekolah dengan menggunakan perahu sampan. "Sudah dua mingguan, naik perahu kalau ke sekolah, berangkat dari jam setengah tujuh," ujarnya, menggambarkan betapa telah membudaya penggunaan jalur air sebagai akses utama. Perjalanan yang seharusnya hanya membutuhkan langkah kaki, kini membutuhkan upaya ekstra dan waktu tambahan untuk mendayung perahu menyusuri jalanan yang tergenang.

Sadia, warga lain yang rumahnya terdampak banjir, mengungkapkan kesulitan yang sama. "Mau keluar susah, banjir, ke mana-mana harus naik perahu ini," katanya, menggambarkan keterbatasan mobilitas yang dialami masyarakat. Kondisi ini bukan hanya memengaruhi aktivitas warga sehari-hari, seperti pergi ke pasar atau mengunjungi kerabat, tetapi juga membatasi akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Banyak warga yang memilih untuk tetap tinggal di rumah sampai air surut, sementara sebagian lainnya bergantung pada perahu untuk mobilitas.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan atas potensi dampak yang lebih luas. Selain mengganggu aktivitas ekonomi dan sosial, banjir juga berpotensi menimbulkan penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Pemerintah Kota Jambi perlu segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi banjir ini dan menyediakan bantuan yang diperlukan bagi warga yang terdampak, termasuk kemungkinan penyediaan transportasi alternatif dan bantuan logistik. Meskipun Kepala Damkartan menyatakan bahwa sebagian besar rumah memiliki perahu, aksesibilitas dan keamanan transportasi air masih perlu dipertimbangkan secara matang untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, terlihat kontras antara adaptasi warga yang terpaksa menggunakan perahu dengan situasi darurat yang dihadapi. Kehidupan seolah dipaksa beradaptasi dengan kondisi alam yang ekstrim. Keberadaan perahu di setiap rumah, yang disebut Kepala Damkartan, menjadi bukti nyata upaya warga untuk bertahan di tengah situasi banjir. Namun, tetap diperlukan dukungan dan antisipasi pemerintah untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

Berdasarkan pantauan dilapangan, sejumlah area terdampak banjir membutuhkan perhatian khusus, termasuk penyediaan sarana kebersihan dan sanitasi yang memadai, mengingat potensi penyebaran penyakit. Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang cara-cara pencegahan penyakit dan langkah-langkah keselamatan saat berada di lingkungan yang tergenang air. Pemulihan pascabanjir juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan, memastikan perbaikan infrastruktur dan pemulihan ekonomi masyarakat terdampak.