Polemik Istilah Parkir Ilegal di Jakarta: Antara Pungutan Liar dan Penegakan Hukum
Jakarta menghadapi tantangan kompleks terkait perparkiran, diperparah dengan pertumbuhan kendaraan yang pesat dan keterbatasan lahan. Situasi ini memicu munculnya praktik parkir ilegal, yang kerap disertai dengan penentuan tarif sepihak oleh oknum juru parkir.
Perdebatan mengenai terminologi yang tepat untuk fenomena ini mencuat ke permukaan. Kepala UPT Parkir Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Adji Kusambarto, mengusulkan penggantian istilah "parkir liar" menjadi "pungutan liar" (pungli). Menurutnya, praktik tersebut lebih mencerminkan tindakan ilegal yang terstruktur, bukan sekadar pelanggaran tata ruang.
"Ini adalah pungli, karena perparkiran sudah diatur oleh regulasi," tegas Adji dalam sebuah diskusi di Jakarta. Pendapat ini didukung oleh Ketua Indonesian Parking Association (API), Rio Octaviano, yang menekankan perbedaan signifikan antara parkir liar dan pungli dari sudut pandang hukum.
Rio berpendapat, pelabelan yang tepat akan mempermudah penegakan hukum. Jika dianggap sekadar parkir liar, penanganannya menjadi ranah Dinas Perhubungan. Namun, jika dikategorikan sebagai pungli, maka kepolisian memiliki wewenang penuh untuk menindak.
Keterlibatan Masyarakat dan Tantangan Sosial
Lebih lanjut, Rio menyoroti keterlibatan organisasi masyarakat (ormas) dan warga lokal dalam praktik parkir ilegal. Ia menekankan perlunya pendekatan sosial yang strategis, dengan melibatkan masyarakat setempat dalam operasional parkir secara legal.
- Melibatkan Warga Lokal: Rio menyarankan pengusaha untuk merekrut warga sekitar sebagai tenaga kerja, dengan perjanjian yang jelas dan transparan. Jika kinerja mereka tidak memuaskan, mereka dapat diganti.
- Menghindari Kesenjangan Sosial: Kurangnya keterlibatan warga lokal dalam kegiatan ekonomi dapat memicu kecemburuan sosial dan memperburuk masalah perparkiran. Rio menekankan pentingnya bagi pengusaha untuk memberikan kesempatan kerja kepada warga sekitar.
Rio menyayangkan masih banyak pengusaha yang mengabaikan aspek sosial ini, sehingga memicu konflik dan memperparah masalah perparkiran di Jakarta. Perubahan terminologi diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum dan mendorong penegakan hukum yang lebih efektif, sekaligus mempertimbangkan aspek sosial dalam penanganan masalah perparkiran.