Jeritan Mitra Ojol: Antara Beban Berat dan Upah Minim di Ibukota

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, kisah Salam, seorang pengemudi ojek online (ojol), menjadi potret buram realitas kehidupan para pekerja informal. Selama tiga tahun terakhir, Salam telah menjadi mitra salah satu perusahaan aplikasi, melayani pengantaran penumpang, barang, dan makanan.

"Saya mulai narik ojol sejak 2022, dan dari awal saya coba semua layanan. Angkut penumpang, barang, makanan, semua saya lakoni. Tapi memang programnya terus berubah, jadi kita juga harus menyesuaikan," ungkap Salam saat ditemui di kawasan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Dahulu, Salam kerap menerima order pengiriman barang di pagi hari, sebelum kemudian beralih ke pengantaran penumpang di sekitar Stasiun Tanah Abang menjelang siang. Namun, kini fokusnya tertuju pada pengantaran penumpang setelah opsi pengiriman barang di aplikasinya ditiadakan.

Ironisnya, meski bekerja keras dengan mengambil berbagai jenis layanan, Salam merasa bahwa pendapatannya tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan yang ia emban. Beban terberatnya adalah saat mengantar barang, terutama di kawasan Pasar Tanah Abang.

"Sebenarnya beban kerjanya enggak sebanding dengan penghasilan. Kecuali kalau barangnya kecil-kecil, masih lumayan," keluhnya.

Di Pasar Tanah Abang, Salam seringkali harus mengangkut barang dengan berat melebihi batas maksimal yang ditetapkan aplikasi, yakni 20 kilogram. Tak jarang, ia harus memanggul barang-barang grosiran dari lantai atas ke lantai bawah seorang diri.

"Berat barang itu kan maksimal 20 kilogram di aplikasi. Tapi kalau di Tanah Abang, seringkali lebih dari itu," tuturnya.

"Capeknya itu kalau di Pasar Tanah Abang, manggul barang yang besar. Dari lantai 3, lantai 5, saya yang harus memanggulnya," lanjut Salam.

Sesampainya di lokasi pengantaran, tak jarang Salam kembali harus memanggul barang ke lantai atas pusat perbelanjaan lain. Kondisi ini tentu sangat menguras tenaga dan waktu.

"Dari atas ke bawah manggul barangnya. Kalau diantar ke ITC Pasar Pagi, sampai sana saya manggul lagi, naik lagi," jelasnya.

Dengan kerja keras yang ekstra, Salam hanya mampu mengantongi pendapatan bersih maksimal Rp 150.000 per hari. Bahkan, tak jarang pendapatannya berada di bawah angka tersebut.

Menurut Salam, penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ia mengaku kesulitan untuk menabung, padahal anak pertamanya akan segera memasuki bangku Taman Kanak-Kanak (TK).

"Pendapatan saya itu cuma cukup buat sehari-hari saja. Buat nabung masih susah, belum bisa. Padahal anak saya sudah mau masuk TK," pungkasnya dengan nada prihatin.

Kisah Salam adalah refleksi dari tantangan yang dihadapi banyak pengemudi ojol di Jakarta. Di tengah persaingan yang ketat dan biaya hidup yang terus meningkat, mereka berjuang keras untuk mencari nafkah demi keluarga, meski seringkali harus mengorbankan kesehatan dan waktu istirahat.

Berikut adalah poin-poin penting yang terungkap dari kisah Salam:

  • Pendapatan pengemudi ojol seringkali tidak sebanding dengan beban kerja.
  • Batas berat barang yang ditetapkan aplikasi seringkali dilanggar di lapangan.
  • Pengemudi ojol kesulitan menabung untuk kebutuhan masa depan keluarga.
  • Persaingan ketat dan biaya hidup tinggi menambah beban pengemudi ojol.

Kisah Salam ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya memberikan apresiasi yang layak bagi para pekerja informal yang turut berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian kota.