Menteri ESDM Ungkap Dugaan Rekayasa di Balik Impor BBM dari Singapura
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan dugaan adanya praktik rekayasa yang menyebabkan Indonesia terus menerus bergantung pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya dari Singapura. Pernyataan ini mengindikasikan adanya persoalan mendalam dalam tata kelola energi nasional.
Bahlil mengklaim memiliki bukti yang mendukung pernyataannya, meskipun enggan mengungkapkannya secara terbuka. Data tersebut, menurutnya, disimpan secara eksklusif untuk keperluan internal Kementerian ESDM. Ia menegaskan bahwa impor BBM dari Singapura, yang mencapai 54-59% dari total impor, bukanlah sebuah kebetulan melainkan hasil dari desain yang terencana.
"Ini by design," ujarnya dalam sebuah forum energi di Jakarta, Senin (26/5/2025). "Hanya orang yang tidak berpikir jauh yang mengatakan ini tidak by design."
Bahlil juga menyoroti kejanggalan impor BBM dari Singapura, sebuah negara yang tidak memiliki sumber minyak mentah. Ia mempertanyakan logika di balik praktik tersebut, mengingat Indonesia pernah menjadi negara pengekspor minyak yang disegani.
"Masa kita impor dari negara yang nggak ada minyaknya itu bagaimana sih?" tanyanya retoris.
Lebih lanjut, Bahlil menyinggung adanya indikasi kesengajaan untuk terus menurunkan lifting minyak Indonesia, yang pada gilirannya memaksa Indonesia untuk terus melakukan impor. Ia mengenang masa kejayaan Indonesia sebagai salah satu negara pendiri Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), di mana pada tahun 1996-1997 lifting minyak mencapai 1,5 hingga 1,6 juta barel per hari.
Saat itu, konsumsi minyak Indonesia hanya sekitar 500 ribu barel per hari, memungkinkan Indonesia untuk mengekspor hingga 1 juta barel per hari. Kontribusi sektor minyak dan gas (migas) terhadap pendapatan negara mencapai 40-48%.
Namun, krisis ekonomi 1998 membawa perubahan fundamental dalam regulasi migas, yang berdampak pada melemahnya sistem migas Indonesia. Pada tahun 2024, lifting minyak Indonesia hanya mencapai 580 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari. Kondisi ini sangat kontras dengan situasi pada tahun 1996-1997.
Bahlil mempertanyakan apakah penurunan lifting tersebut disebabkan oleh menipisnya sumber daya alam atau adanya unsur kesengajaan untuk mendorong impor. Ia secara terbuka menyatakan keyakinannya bahwa ada unsur kesengajaan di balik kondisi tersebut.
Pemerintah kini berencana untuk menghentikan impor BBM dari Singapura, karena harga beli BBM dari negara tersebut setara dengan harga beli dari Timur Tengah. Bahlil mengatakan, pengalihan impor ke Timur Tengah juga sebagai upaya menjaga harga diri bangsa, ketimbang mengimpor dari negara yang tidak memiliki sumber minyak.
"Harganya sama dengan harga kalau kita impor dari Middle East. Ya daripada begitu, saya putuskan aja nggak usah impor di sana (Singapura). Impor aja di Middle East. Middle East menertawai kita masih jauh lebih berharga daripada Singapura yang tertawa, karena dia nggak punya minyaknya," pungkas Bahlil.