RUU Kehutanan Mendesak: Komisi IV DPR RI Dorong Regulasi Adaptif Terhadap Krisis Iklim dan Hak Masyarakat Adat
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi IV, menginisiasi pembentukan Undang-Undang (UU) Kehutanan yang baru. Usulan ini muncul sebagai respons terhadap dinamika kompleksitas pengelolaan hutan di era modern, termasuk tantangan krisis iklim, perdagangan karbon, dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Anggota Komisi IV DPR RI, I Nyoman Adi Wiryatama, yang juga merupakan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Kehutanan, menyampaikan bahwa UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinilai sudah tidak lagi relevan dalam menjawab kebutuhan dan tantangan saat ini.
Menurut Wiryatama, perkembangan kebutuhan terhadap hutan telah melampaui sekadar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Isu-isu krusial seperti hak masyarakat adat, dampak perubahan iklim, serta mekanisme perdagangan karbon memerlukan landasan hukum yang lebih komprehensif dan adaptif. Revisi parsial terhadap UU yang lama dianggap tidak lagi memadai untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Wiryatama menekankan bahwa hutan tidak dapat lagi dipandang sebagai entitas yang terpisah dari kehidupan manusia, khususnya masyarakat adat. Ia menyoroti peran penting masyarakat adat sebagai penjaga dan pelestari hutan yang telah terbukti secara historis. Oleh karena itu, pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat menjadi esensial dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Masyarakat adat harus diakui sebagai subjek hukum yang memiliki peran aktif dalam pengelolaan hutan.
Dalam usulan RUU Kehutanan dan Pengelolaannya, Wiryatama menggarisbawahi empat aspek utama yang perlu diakomodasi:
- Kejelasan Prosedur dan Penguatan Hak Masyarakat Hukum Adat (MHA): RUU harus memberikan kepastian hukum terkait hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya, serta mekanisme yang jelas dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak tersebut.
- Mekanisme Partisipatif dalam Pelibatan Masyarakat Sekitar Hutan: Masyarakat sekitar hutan harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan, sehingga kepentingan mereka terakomodasi dan keberlanjutan hutan terjamin.
- Kerangka Hukum yang Adaptif terhadap Krisis Iklim dan Perdagangan Karbon: RUU harus memuat ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan hutan dalam konteks mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, serta mekanisme perdagangan karbon yang adil dan transparan.
- Penataan Ulang Izin Usaha dan Sanksi Berbasis Tanggung Jawab Ekologis: RUU harus mengatur kembali sistem perizinan usaha di bidang kehutanan dengan menekankan pada prinsip tanggung jawab ekologis, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran yang merusak lingkungan.
Selain itu, Wiryatama juga menyoroti potensi integrasi antara pelestarian hutan dan sektor pariwisata, khususnya ekowisata. Ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah seperti Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekowisata berbasis pelestarian hutan, yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Keterlibatan aktif masyarakat lokal sebagai penerima manfaat menjadi kunci keberhasilan pengembangan ekowisata.
Dengan demikian, pembentukan UU Kehutanan yang baru menjadi krusial untuk memastikan pengelolaan hutan di Indonesia yang berkelanjutan, adil, dan adaptif terhadap tantangan global. Regulasi yang komprehensif dan progresif akan menjadi fondasi bagi kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya dan keberlanjutan ekologis jangka panjang.