Penundaan Implementasi KRIS: Target Baru Desember 2025 untuk Standarisasi Ruang Rawat Inap BPJS Kesehatan

Pemerintah menunda target implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan hingga Desember 2025. Semula, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 menargetkan penerapan KRIS mulai 1 Juli 2025, dengan masa transisi sejak 30 Juni 2025.

Keputusan ini diambil karena masih banyak rumah sakit (RS) yang belum siap memenuhi 12 kriteria KRIS yang ditetapkan. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, dari total 3.240 RS di Indonesia, sekitar 83,7 persen atau sekitar 2.715 RS telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan ditargetkan untuk menerapkan KRIS. Sisanya, sekitar 80 RS, seperti RS D Pratama, RS Bergerak, dan RS Lapangan, tidak termasuk dalam target implementasi.

"Kita sekarang memang ada deadline 30 Juni untuk bisa diterapkan," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin.

Namun, karena ketidaksiapan fasilitas kesehatan (faskes) dalam memenuhi 12 kriteria yang dipersyaratkan, pemerintah memperpanjang masa transisi hingga akhir Desember 2025.

12 Kriteria KRIS yang Harus Dipenuhi:

  • Komponen bangunan tidak memiliki porositas tinggi.
  • Ventilasi udara memadai.
  • Pencahayaan ruangan sesuai standar.
  • Tempat tidur lengkap dengan fasilitas pendukung.
  • Ketersediaan tenaga kesehatan (nakes) yang proporsional dengan jumlah tempat tidur.
  • Temperatur ruangan yang nyaman.
  • Ruang rawat terpisah berdasarkan jenis kelamin, usia (anak atau dewasa), dan jenis penyakit (infeksi atau noninfeksi).
  • Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur memenuhi standar.
  • Setiap tempat tidur dilengkapi tirai atau partisi.
  • Kamar mandi berada di dalam ruangan rawat inap.
  • Kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
  • Tersedia outlet oksigen.

Menkes Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, hingga saat ini, sekitar 88 persen atau 1.436 RS sudah siap atau hampir siap menerapkan KRIS. Sekitar 786 RS lainnya masih memerlukan sedikit pembenahan. Namun, sekitar 300 RS masih menghadapi kendala signifikan dalam memenuhi kriteria KRIS.

Salah satu aspek yang paling sulit dipenuhi adalah kelengkapan tempat tidur, termasuk ketersediaan colokan listrik, dua stop kontak, dan bel untuk memanggil perawat. Selain itu, pemasangan tirai atau partisi antartempat tidur juga menjadi tantangan bagi banyak RS. Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur juga menjadi perhatian, dengan standar maksimal 4 tempat tidur per ruangan dan jarak minimal 1,5 meter antar tempat tidur.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. Ali Ghufron Mukti, menyatakan dukungan terhadap penerapan KRIS, asalkan peraturan teknisnya jelas dan tidak mengurangi akses masyarakat terhadap ketersediaan tempat tidur. Ia menekankan pentingnya standarisasi kelas rawat inap untuk meningkatkan mutu dan akses pelayanan kesehatan.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dr. Bambang Wibowo, SpOG(K), menyoroti belum adanya regulasi teknis yang jelas terkait penerapan KRIS. Ia khawatir jika regulasi yang ditetapkan nantinya berbeda dengan sosialisasi yang telah dilakukan. Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), dr. Bangun T Purwaka, SpOG, M.Kes, juga mengungkapkan perlunya pemahaman yang lebih mendalam mengenai penerapan KRIS, terutama terkait jumlah kelas BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan.

Meski survei menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap penerapan KRIS, pemenuhan kriteria tetap menjadi tantangan, terutama terkait dengan potensi penurunan jumlah tempat tidur di RS dengan tingkat hunian tinggi.