Polemik Gelar Pahlawan Soeharto: Golkar Membela, Aktivis Mengenang Luka
Perdebatan Sengit Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali memicu perdebatan panas di kalangan masyarakat. Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Muhammad Sarmuji, secara terbuka menyampaikan pembelaannya terhadap Soeharto, menyoroti jasa-jasanya yang dianggap monumental bagi kemajuan bangsa Indonesia. Di sisi lain, gelombang penolakan datang dari berbagai elemen aktivis, terutama aktivis 1998, yang masih menyimpan trauma mendalam atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.
Sarmuji menekankan bahwa terlepas dari kontroversi yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa Soeharto telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan Indonesia. Ia menggambarkan kondisi Indonesia sebelum era Soeharto sebagai negara yang dilanda kemiskinan dan kekurangan pangan yang parah. Menurutnya, Soeharto berhasil mengubah keadaan tersebut secara drastis, bahkan membawa Indonesia mencapai swasembada pangan dan menjadi negara yang disegani di kawasan Asia.
"Generasi sekarang mungkin sulit membayangkan betapa sulitnya kondisi Indonesia sebelum Pak Harto memimpin. Dari cerita orang tua kami dan catatan sejarah, Indonesia dahulu mengalami kekurangan pangan yang sangat serius, banyak rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar," ujar Sarmuji.
Namun, pandangan ini ditentang keras oleh para aktivis. Mereka menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan mengkhianati semangat reformasi 1998, yang salah satu tuntutannya adalah pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Aksi penolakan bahkan diwujudkan dalam demonstrasi simbolis dengan menggunakan ribuan tengkorak imitasi untuk menggambarkan banyaknya korban jiwa selama rezim Orde Baru berkuasa.
Jimmy Fajar Jimbong, seorang aktivis '98 dari ISTN Jakarta, menyatakan bahwa kepemimpinan Soeharto telah menelan banyak korban jiwa. Ia menyebutkan berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, seperti kasus penembakan misterius (Petrus), penculikan aktivis, kasus tanah, pembunuhan Marsinah, hilangnya Widji Tukul, dan kasus Kedung Ombo.
"Simbolisasi tengkorak ini adalah pengingat bahwa di masa lalu, banyak warga negara Indonesia yang menjadi korban dan hingga kini belum ditemukan," tegas Jimmy.
Mustar Bona Ventura, aktivis '98 lainnya, menambahkan bahwa gelar pahlawan untuk Soeharto tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan dalam reformasi 1998. "Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto jelas kami tolak. Ini jauh dari nilai-nilai yang melandasi lahirnya reformasi," kata Mustar.
Perdebatan mengenai gelar pahlawan Soeharto ini mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia dan perbedaan pandangan mengenai warisan Orde Baru. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah sosok pemimpin yang berhasil membawa kemajuan ekonomi dan stabilitas politik. Namun, bagi korban pelanggaran HAM dan aktivis pro-demokrasi, Soeharto adalah simbol kekuasaan otoriter yang harus bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami oleh banyak orang. Polemik ini kemungkinan akan terus berlanjut seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk merekonsiliasi masa lalu dan membangun masa depan yang lebih adil dan demokratis.
- Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu:
- Kasus penembakan misterius (Petrus)
- Penculikan aktivis
- Kasus tanah
- Pembunuhan Marsinah
- Hilangnya Widji Tukul
- Kasus Kedung Ombo