Mengurai Alasan di Balik Penyesuaian Tarif Tol: Bukan Semata-Mata Keuntungan

Kenaikan tarif tol seringkali menjadi sorotan publik, memunculkan pertanyaan mengenai motif di balik kebijakan tersebut. Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) memberikan penjelasan mengenai alasan operator jalan tol atau Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) secara berkala melakukan penyesuaian tarif. Menurut ATI, kenaikan tarif ini bukanlah semata-mata untuk mengejar keuntungan, melainkan upaya menjaga keberlangsungan pengembalian investasi pembangunan jalan tol yang nilainya sangat besar.

Sekretaris Jenderal ATI, Kris Ade Sudiyono, menjelaskan bahwa bisnis jalan tol memiliki karakteristik unik dengan kebutuhan investasi yang sangat besar dan risiko bisnis yang tinggi. Investasi pembangunan jalan tol per kilometer dapat mencapai Rp 200 hingga Rp 400 miliar, tergantung pada desain konstruksi, apakah at-grade atau elevated. Dana sebesar ini diperoleh BUJT dari modal sendiri atau pinjaman dari lembaga keuangan.

Setelah jalan tol selesai dibangun, BUJT mendapatkan masa konsesi dari pemerintah selama 30 hingga 50 tahun. Pada 5 hingga 10 tahun pertama, BUJT seringkali masih membutuhkan modal tambahan karena biaya operasional yang lebih tinggi dari pendapatan. Periode ini dikenal sebagai periode cash deficiency.

Setelah melewati masa awal tersebut, BUJT baru memasuki periode pengembalian modal, yaitu mencicil dana investasi kepada pemilik modal atau bank pemberi pinjaman. Periode ini biasanya berlangsung selama 10 hingga 15 tahun. Dengan demikian, selama 15 hingga 20 tahun, BUJT fokus pada pengembalian pinjaman dan modal kepada pemegang saham.

Namun, perhitungan pengembalian modal ini dapat meleset akibat dua faktor utama: volume lalu lintas (traffic) yang kurang dari perkiraan dan tarif tol yang rendah. Idealnya, asumsi dalam perencanaan bisnis harus terpenuhi. Sayangnya, dalam beberapa kasus, asumsi tersebut tidak terpenuhi, sehingga terjadi penurunan pengembalian modal atau return fall.

Kris Ade menekankan bahwa pendapatan jalan tol berasal dari dua sumber utama: volume lalu lintas dan tarif. Jika volume lalu lintas tidak sesuai harapan, pendapatan akan berkurang. Demikian pula, jika tarif terlalu rendah, pengembalian modal akan terpengaruh.

Untuk mengatasi potensi penurunan pengembalian modal dari aspek tarif, pemerintah dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menyepakati adanya penyesuaian tarif dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Salah satu faktor yang mendasari kenaikan tarif adalah inflasi.

Penyesuaian tarif yang didasarkan pada inflasi merupakan bagian dari model bisnis jalan tol yang disepakati dengan pemerintah. Tujuannya adalah mengatasi penurunan pengembalian modal akibat periode pengembalian yang sangat panjang.

Kris Ade menegaskan bahwa kenaikan tarif jalan tol bukan untuk mencari keuntungan tambahan, melainkan untuk memastikan perusahaan dapat mengembalikan dana investasi dari pemilik modal atau pinjaman bank. Ia menjelaskan bahwa penyesuaian tarif merupakan penyesuaian nilai uang atas investasi yang ditanamkan selama masa konsesi, yang bisa mencapai 30 hingga 50 tahun.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan memberikan landasan hukum bagi BUJT untuk mengajukan kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki peran dalam menyetujui penyesuaian tarif jalan tol melalui penerbitan Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR, setelah melakukan identifikasi dan audit untuk memastikan semua syarat dan ketentuan terpenuhi.