Industri Perhotelan Jakarta Terhuyung Akibat Pemangkasan Anggaran Pemerintah dan Kenaikan Biaya Operasional
Industri perhotelan di Jakarta sedang menghadapi masa-masa sulit. Data terbaru menunjukkan penurunan signifikan dalam tingkat hunian hotel, terutama di kuartal pertama tahun 2025. Situasi ini dipicu oleh kombinasi faktor, termasuk pengetatan anggaran pemerintah, kenaikan biaya operasional, dan kompleksitas regulasi.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta melaporkan bahwa mayoritas anggotanya mengalami penurunan okupansi yang signifikan. Penurunan ini memaksa banyak hotel untuk mengambil langkah-langkah drastis, seperti pengurangan tenaga kerja dan efisiensi biaya operasional.
Sutrisno Iwantono, Ketua BPD PHRI DKI Jakarta, mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran pemerintah menjadi penyebab utama penurunan okupansi hotel. Kegiatan perjalanan dinas dan rapat instansi pemerintah yang sebelumnya menjadi tulang punggung bisnis hotel, kini mengalami penurunan drastis akibat kebijakan efisiensi belanja.
"Selama ini, kegiatan perjalanan dinas dan rapat instansi pemerintah menjadi salah satu penopang utama okupansi hotel, terutama di Jakarta. Ketika anggaran itu dipotong, dampaknya langsung terasa," ujar Sutrisno.
Tidak hanya hotel berbintang yang merasakan dampaknya, hotel-hotel kecil juga ikut terimbas. Penurunan harga yang dilakukan oleh hotel-hotel berbintang untuk menarik pelanggan berdampak pada penurunan pendapatan hotel-hotel kecil.
Selain penurunan permintaan, industri perhotelan juga terbebani oleh kenaikan biaya operasional. Tarif air dari PDAM, harga gas, dan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta mengalami kenaikan signifikan, semakin memperberat beban finansial hotel.
- Tarif air dari PDAM naik hingga 71%
- Harga gas melonjak 20%
- UMP DKI Jakarta meningkat sebesar 9%
Kondisi ini memaksa banyak hotel untuk mempertimbangkan pengurangan karyawan. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar hotel berpotensi mengurangi karyawan antara 10% hingga 30% jika situasi tidak membaik. Banyak hotel juga telah memangkas tenaga kerja harian dan mengurangi staf tetap.
Selain masalah permintaan dan biaya, pelaku industri perhotelan juga mengeluhkan kompleksitas regulasi dan perizinan. Proses perizinan yang panjang, tumpang tindih antarinstansi, dan biaya yang tidak transparan menjadi hambatan bagi pengembangan bisnis hotel.
Jenis izin yang diperlukan pun beragam, mulai dari izin lingkungan, sertifikasi laik fungsi, hingga perizinan minuman beralkohol. Kompleksitas ini semakin memperburuk kondisi industri perhotelan yang sedang tertekan.
Krisis di sektor perhotelan berpotensi menimbulkan efek domino yang luas. Sektor ini memiliki keterkaitan erat dengan sektor lain, seperti UMKM, pertanian, logistik, serta seni dan budaya. Penurunan di sektor perhotelan dapat berdampak negatif pada mata pencaharian ratusan ribu tenaga kerja dan kelangsungan bisnis berbagai sektor terkait.
Berdasarkan data BPS, lebih dari 603 ribu tenaga kerja di Jakarta bergantung pada sektor akomodasi dan makanan-minuman. Penurunan tajam di sektor ini juga berdampak pada pelaku UMKM, petani, pemasok logistik, hingga seniman dan pelaku budaya yang terhubung dalam rantai pasok industri pariwisata.