Fenomena #KaburAjaDulu: Analisis Realistis Migrasi Kerja dan Studi ke Luar Negeri
Fenomena #KaburAjaDulu yang belakangan ini viral di media sosial, menunjukkan minat masyarakat Indonesia yang tinggi untuk berkarir atau melanjutkan studi di luar negeri. Namun, semangat ini perlu diimbangi dengan perencanaan matang dan pemahaman yang komprehensif terhadap tantangan yang akan dihadapi. Dimas Budi Prasetyo, seorang warga negara Indonesia yang telah menetap di Belanda selama lima tahun terakhir, memberikan perspektif berharga berdasarkan pengalaman pribadinya.
Dimas, yang sebelumnya tinggal di Taiwan selama empat tahun bersama keluarganya, menegaskan bahwa keberhasilan hidup di luar negeri bukan sekadar mengikuti tren. Ia mengajak calon migran untuk melakukan evaluasi diri yang jujur dan realistis sebelum mengambil langkah besar tersebut. Menurutnya, langkah pertama adalah menentukan tujuan utama: apakah untuk studi atau bekerja?
Studi ke Luar Negeri:
Dimas menyarankan agar calon mahasiswa mempertimbangkan jenjang pendidikan S2 atau S3 sebagai pilihan yang lebih ideal. Hal ini didasarkan pada tingkat aksesibilitas beasiswa dan peluang penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan program S1. Meskipun ada program kuliah kerja S1 di Taiwan, Dimas memperingatkan bahwa program ini membutuhkan komitmen tinggi dan ketahanan fisik serta mental yang luar biasa karena menggabungkan kuliah dan kerja serentak di lingkungan asing.
Migrasi Kerja:
Bagi mereka yang memilih jalur kerja, Dimas menekankan perlunya melakukan riset mendalam sebelum berangkat. Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu dijawab meliputi:
- Pemahaman perbedaan pekerja kerah biru dan kerah putih: Setiap negara memiliki regulasi dan persyaratan yang berbeda.
- Kualifikasi dan kesesuaian pekerjaan: Apakah keahlian dan pengalaman yang dimiliki sesuai dengan tuntutan pasar kerja di negara tujuan?
- Penelitian menyeluruh tentang negara tujuan: Apakah negara tersebut sesuai dengan kriteria dan preferensi pribadi?
Setelah memahami aspek-aspek tersebut, Dimas menambahkan bahwa persiapan mental merupakan faktor penentu keberhasilan. Ia menyoroti mentalitas ketergantungan yang masih melekat pada sebagian masyarakat Indonesia. Keberhasilan di luar negeri, menurut Dimas, bergantung pada kemampuan dan keahlian individu, bukan pada koneksi atau bantuan orang lain. Memiliki skill yang mumpuni dan etos kerja yang kuat adalah kunci utama.
Tantangan Finansial dan Persaingan Kerja:
Dimas menuturkan pengalaman kenalannya yang menunjukkan bahwa persaingan kerja di luar negeri, bahkan di negara maju seperti Belanda, sangat ketat. Lulusan S1 dari universitas ternama di Indonesia pun bisa mengalami masa tunggu yang cukup lama sebelum mendapatkan pekerjaan. Bahkan lulusan S2 pun tidak serta merta terjamin mendapatkan pekerjaan secara langsung. Situasi ini diperparah bagi mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan atau profesi yang tidak sesuai dengan standar di negara tersebut. Dimas juga memberikan contoh seorang dokter Indonesia yang harus beralih profesi menjadi YouTuber karena kualifikasinya tidak diakui di Belanda.
Modal finansial juga menjadi pertimbangan yang krusial. Biaya hidup dan biaya awal menetap di negara maju seperti Belanda bisa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, investasi besar ini tidak menjamin keberhasilan. Banyak yang akhirnya menjadi pekerja ilegal dengan upah yang rendah dan tidak sesuai dengan standar, atau bahkan harus menyerah dan dideportasi karena tidak mampu bertahan.
Kesimpulan:
Dimas menekankan pentingnya perencanaan yang matang dan realistis sebelum memutuskan untuk #KaburAjaDulu. Keberhasilan migrasi kerja dan studi ke luar negeri bukan sekadar mengikuti tren, tetapi membutuhkan persiapan yang komprehensif, meliputi pengembangan diri, penguasaan skill yang mumpuni, perencanaan keuangan yang matang, dan mental yang kuat. Ia mengingatkan bahwa hidup di luar negeri tidak selalu mudah dan membutuhkan usaha yang keras dan konsisten. Pesan utama Dimas adalah: jangan asal nekat, tetapi rencanakan setiap langkah dengan bijak.