Pemungutan Suara Ulang Massal Pilkada 2024: Refleksi Kritis atas Kegagalan Sistemik Penyelenggaraan Pemilu

Pemungutan Suara Ulang Massal Pilkada 2024: Refleksi Kritis atas Kegagalan Sistemik Penyelenggaraan Pemilu

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah menjadi sorotan tajam atas penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Bukan sekadar koreksi teknis, putusan ini mengungkap kelemahan struktural dan sistemik dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Jumlah daerah yang harus melakukan PSU, bahkan dengan skala pengulangan di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 14 daerah, mengindikasikan kegagalan besar dalam memastikan proses pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan serius terhadap kredibilitas penyelenggara, tetapi juga menimbulkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara.

Perintah PSU dalam skala masif ini bukan fenomena baru, tetapi merupakan pengulangan dari permasalahan yang telah berulang kali terjadi dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Jika tren ini terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap demokrasi Indonesia akan terus tergerus. Kegagalan sistemik yang terjadi bukan semata-mata akibat kesalahan teknis atau individu, melainkan juga indikasi lemahnya pengawasan dan kurangnya pertanggungjawaban dari lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Perlu evaluasi mendalam dan komprehensif untuk mengidentifikasi akar permasalahan dan mencari solusi jangka panjang yang efektif.

Sarat Pelanggaran dan Minimnya Akuntabilitas

Pilkada 2024 diwarnai berbagai pelanggaran, mulai dari politik uang, penyalahgunaan wewenang hingga keterlibatan aparat. Kasus-kasus seperti di Mahakam Ulu dan Serang, dimana petahana dan bahkan seorang menteri terlibat dalam praktik yang melanggar aturan, menjadi bukti nyata lemahnya penegakan hukum dan pengawasan dalam proses pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip kesetaraan peluang bagi semua kandidat, seperti yang diungkapkan Robert Dahl dalam karyanya Polyarchy (1971), masih jauh dari terwujud. Sistem pemilu yang rapuh dan lemahnya penegakan hukum telah menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya berbagai pelanggaran tanpa konsekuensi yang setimpal.

Kelemahan Seleksi Calon dan Pengawasan yang Reaktif

Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka PSU adalah lemahnya proses seleksi calon. Banyak kandidat yang seharusnya tidak memenuhi syarat tetap diizinkan maju, dan baru didiskualifikasi setelah pemungutan suara selesai. Hal ini menunjukkan celah besar dalam sistem verifikasi dan validasi calon yang perlu diperbaiki. Proses seleksi calon yang lemah ini tidak hanya merugikan negara dari segi finansial, namun juga merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu juga patut dipertanyakan. Pengawasan yang cenderung reaktif, dan bukan preventif, menunjukkan ketidakmampuan lembaga ini dalam mencegah terjadinya pelanggaran sejak dini.

Dampak Finansial dan Ancaman terhadap Kepercayaan Publik

Biaya yang dikeluarkan negara untuk pemungutan suara ulang di 24 daerah diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Angka ini menunjukkan pemborosan anggaran yang signifikan yang seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor-sektor krusial seperti infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan. Pemborosan ini juga menguatkan argumen Pippa Norris dalam Why Electoral Integrity Matters (2014) bahwa pemilu yang terus-menerus diulang tidak hanya membebani negara secara finansial, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi. Ketidakpercayaan ini dapat berdampak buruk bagi stabilitas politik dan sosial negara.

Reformasi Sistemik sebagai Keharusan

Pilkada 2024 menjadi bukti nyata bahwa perbaikan sistemik dalam penyelenggaraan pemilu sangat mendesak. Bukan hanya perbaikan teknis, tetapi juga perlu reformasi menyeluruh terhadap proses seleksi calon, penguatan pengawasan preventif, dan penegakan hukum yang tegas. Hal ini juga membutuhkan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, KPU, Bawaslu, partai politik, dan masyarakat sipil. Jika tidak, Pilkada 2029 dan seterusnya akan terus dibayangi oleh permasalahan yang sama, dan kepercayaan publik terhadap demokrasi Indonesia akan semakin menipis.

Daftar Rekomendasi: * Penguatan proses seleksi calon yang lebih ketat dan transparan. * Pengawasan pemilu yang preventif dan efektif, bukan hanya reaktif. * Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelanggaran pemilu. * Peningkatan kapasitas dan profesionalisme penyelenggara pemilu. * Partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mengawasi proses pemilu. * Reformasi sistem hukum pemilu yang lebih berpihak pada keadilan dan integritas.