Wamen PPPA Angkat Bicara Soal Pernikahan Dini yang Viral di Lombok Tengah
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberikan perhatian khusus terhadap kasus pernikahan anak di bawah umur yang baru-baru ini viral di media sosial. Kasus yang melibatkan siswa SMP dan SMK di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, menjadi sorotan tajam dari Wakil Menteri PPPA, Veronica Tan.
Veronica Tan menyampaikan keprihatinannya atas praktik perkawinan anak yang masih marak terjadi, terutama di NTB yang dikenal memiliki angka perkawinan anak yang tinggi di Indonesia. Praktik perkawinan anak seringkali dibalut dengan tradisi lokal seperti 'merarik'.
"Kami sangat prihatin atas masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya merarik, khususnya di NTB yang termasuk daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia," ujar Veronica Tan.
Menurutnya, tekanan sosial dan budaya menjadi faktor utama yang melatarbelakangi praktik ini. Perkawinan seringkali dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan atau untuk menjaga kehormatan keluarga. Namun, Wamen PPPA menekankan bahwa realitasnya seringkali berbeda jauh dari harapan. Pernikahan anak justru membawa dampak negatif dan merampas hak-hak anak. Hak-hak tersebut diantaranya hak atas pendidikan, tumbuh kembang yang sehat, dan menikmati masa kanak-kanak.
"Realitanya, perkawinan anak justru menjadi pintu awal penderitaan bagi anak-anak kita. Mereka belum memahami konsekuensi dan tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Hak anak atas pendidikan, tumbuh kembang, dan menikmati masa kanak-kanaknya dirampas oleh praktik ini," tegasnya.
Secara hukum, Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kementerian PPPA mengimbau semua pihak untuk tidak menormalisasi praktik perkawinan anak, apapun alasannya. Diperlukan kerjasama dari seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan praktik ini demi melindungi masa depan anak-anak Indonesia.
Kasus pernikahan anak yang viral ini melibatkan seorang siswi SMP berusia 15 tahun berinisial SMY dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dengan seorang siswa SMK berusia 17 tahun berinisial SR dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah. Pernikahan ini menjadi perhatian publik setelah video prosesi nyongkolan atau pernikahan adat Sasak beredar luas di media sosial.
Dalam video tersebut, SMY terlihat berjoget sambil berjalan menuju pelaminan, ditandu oleh dua orang perempuan dewasa. Tingkah lakunya tersebut menimbulkan berbagai komentar dari warganet. Banyak yang menilai ada kejanggalan dalam perilaku SMY.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, turut menyoroti gelagat mempelai perempuan yang tampak tidak biasa dalam video tersebut. Ia menekankan bahwa pihaknya belum dapat menyimpulkan kondisi psikologis anak tersebut tanpa adanya pemeriksaan medis yang komprehensif. Joko Jumadi menjelaskan bahwa pemeriksaan medis akan dilakukan untuk memastikan kondisi psikologis anak tersebut.
"Nanti. Kami belum bisa memastikan itu. Nanti pada proses pemeriksaan kepolisian. Kita tidak bisa menjustifikasi kenapa-kenapa, semua harus melalui pemeriksaan tenaga medis, dan itu akan kita lakukan," jelasnya.
Berikut poin penting yang disampaikan Wamen PPPA Veronica Tan terkait kasus pernikahan anak di Lombok Tengah:
- Keprihatinan mendalam: Wamen PPPA sangat prihatin atas praktik perkawinan anak yang masih terjadi di NTB.
- Faktor penyebab: Tekanan sosial dan budaya menjadi penyebab utama perkawinan anak.
- Dampak negatif: Perkawinan anak merampas hak-hak anak dan membawa penderitaan.
- Landasan hukum: Undang-Undang Perkawinan menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun.
- Imbauan: Semua pihak harus menghentikan normalisasi praktik perkawinan anak.
- Pemeriksaan psikologis: LPA Kota Mataram akan melakukan pemeriksaan medis untuk memastikan kondisi psikologis mempelai perempuan.