Pernikahan Dini di Lombok Tengah: Impian Terhenti, Realita Ekonomi Menghimpit

Di sebuah dusun di Lombok Tengah, impian masa depan dua remaja harus terhenti lebih awal. YL, seorang gadis berusia 15 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasar, dan R, seorang pemuda berusia 16 tahun yang putus sekolah menengah kejuruan, memutuskan untuk mengikat janji suci pernikahan. Pernikahan dini ini, yang berlangsung pada Rabu, 21 Mei 2025, menjadi buah dari kekhawatiran keluarga dan pilihan yang dipaksakan oleh keadaan.

Kepala Dusun Beraim, Syarifudin, mengungkapkan bahwa pernikahan di bawah umur ini sulit untuk dicegah. Menurutnya, orang tua YL merasa terpaksa menikahkan putri mereka karena telah dibawa kabur oleh R selama dua hari dua malam. Upaya kabur ini dilakukan Y dan R hingga ke Pulau Sumbawa, sebagai bentuk penolakan mereka untuk dipisahkan. Sebelumnya, keduanya sempat gagal menikah karena berhasil dicegah oleh pihak berwenang.

"Kami sudah berupaya semaksimal mungkin, namun apalah daya, pernikahan itu akhirnya terjadi atas dasar persetujuan orang tua," ujar Syarifudin dengan nada prihatin.

Kini, YL dan R harus menghadapi realita kehidupan rumah tangga dengan segala keterbatasan yang ada. YL yang seharusnya melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, harus mengubur mimpinya dalam-dalam. Sementara R, yang telah putus sekolah, harus berjuang mencari nafkah untuk menghidupi istri dan neneknya.

Keduanya tinggal di rumah nenek R, seorang janda tua yang telah lama ditinggal mati suaminya. R, yang dibesarkan oleh neneknya sejak orang tuanya bercerai saat ia berusia 3 atau 4 tahun, kini harus menjadi tulang punggung keluarga. Orang tua R telah menikah lagi dan memiliki keluarga masing-masing.

Kondisi ekonomi keluarga mereka sangat memprihatinkan. R mengikuti pamannya berkeliling mencari barang bekas untuk dijual kembali. Penghasilan yang tidak menentu, tergantung pada jumlah barang bekas yang ditemukan, menjadi satu-satunya sumber penghidupan mereka.

"Ya, namanya juga kerja serabutan, penghasilannya tidak menentu," jelas Syarifudin.

Keterbatasan tempat tinggal juga menjadi masalah yang harus mereka hadapi. Karena belum memiliki rumah sendiri, YL dan R harus tinggal bersama nenek R yang sudah renta. Kondisi ini tentu menambah beban hidup mereka.

Kisah YL dan R menjadi potret buram pernikahan dini di Lombok Tengah. Pernikahan yang seharusnya menjadi gerbang menuju kebahagiaan, justru menjadi awal dari perjuangan hidup yang berat. Pendidikan yang terhenti, ekonomi yang sulit, dan keterbatasan tempat tinggal menjadi tantangan yang harus mereka hadapi setiap hari.

Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya pendidikan dan perencanaan masa depan. Pernikahan bukanlah solusi instan untuk masalah ekonomi, melainkan sebuah komitmen yang membutuhkan persiapan matang, baik secara fisik maupun mental.