Polemik Pernikahan Dini di Lombok Tengah: LPA Mataram Melapor, Pengacara Keluarga Pertanyakan Prioritas Pencegahan
Kasus pernikahan anak di bawah umur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi sorotan setelah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap video pernikahan yang viral di media sosial, yang menampilkan pengantin perempuan berusia 15 tahun dan pengantin laki-laki berusia 17 tahun.
Laporan LPA Mataram ditujukan kepada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lombok Tengah pada hari Sabtu, 24 Mei 2025, dengan fokus pada pihak-pihak yang dianggap memfasilitasi pernikahan tersebut. Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pernikahan anak di bawah umur dapat dipidana sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman hingga 9 tahun penjara.
Menanggapi pelaporan ini, Muhaman, pengacara dari pihak keluarga pengantin perempuan, menyampaikan kritik terhadap LPA Mataram. Ia mempertanyakan efektivitas tindakan LPA yang dinilai lebih fokus pada penindakan daripada pencegahan. Muhaman berpendapat bahwa LPA seharusnya lebih proaktif dalam mencegah pernikahan anak sebelum terjadi, bukan hanya bertindak setelah pernikahan terlanjur dilaksanakan.
"Kalau mereka selalu ngotot dalam hal penindakan, ini kan penindakan bukan pencegahan lagi, kemarin mereka ke mana gitu lho. Kenapa tidak ada pencegahan yang dilakukan," ujar Muhaman.
Muhaman menjelaskan bahwa sebelum pernikahan terjadi, pihak keluarga, kepala desa, dan kepala dusun telah berupaya untuk mencegah kedua anak tersebut menikah. Namun, upaya tersebut gagal ketika pengantin laki-laki membawa lari pengantin perempuan ke Pulau Sumbawa selama lebih dari 24 jam dan mengumumkan niat mereka untuk menikah. Dalam tradisi masyarakat Lombok, tindakan membawa lari perempuan selama lebih dari 24 jam dianggap sebagai "merariq" atau kawin lari, yang secara adat mengharuskan pernikahan.
Menurut Muhaman, pernikahan tersebut dilaksanakan secara baik-baik dengan persetujuan dari kedua belah pihak keluarga. Ia juga menekankan bahwa kedua anak tersebut merasa bahagia dan tidak terpaksa dalam pernikahan tersebut.
Muhaman berharap agar LPA Mataram dan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang perlindungan anak dapat melakukan pendekatan yang lebih komprehensif dengan berdialog langsung dengan keluarga pengantin untuk memahami duduk perkara yang sebenarnya. Ia menyayangkan tindakan LPA yang langsung melaporkan kasus ini ke polisi tanpa terlebih dahulu melakukanMediasi atau mencari solusi yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.
"Belum ada yang datang mempertanyakan bagaimana sih prosesnya? Tiba-tiba lapor terus berstatemen penjarakan orang tua, penghulu dan lain sebagainya. Ini kan menjadi seolah-olah ancaman mereka," kata Muhaman.
Muhaman juga menyoroti adanya aturan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan tradisi kawin lari yang masih kuat di masyarakat Lombok, terutama di daerah pedesaan. Ia berharap pemerintah dapat memberikan pendampingan psikologis kepada keluarga dan anak-anak yang terlibat dalam pernikahan dini.
Selain itu, Muhaman juga menyinggung bahwa banyak kasus pernikahan anak di bawah umur lainnya di Lombok yang tidak diproses hukum. Ia mempertanyakan mengapa LPA Mataram hanya fokus pada kasus yang viral di media sosial.
Permasalahan pernikahan anak di Lombok Tengah ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai perlindungan anak, tradisi adat, dan penegakan hukum. Diperlukan pendekatan yang bijaksana dan komprehensif untuk mencari solusi terbaik yang dapat melindungi hak-hak anak tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada.